Ditulis Oleh: Anis Dwiputra, Mahasiswa UNM Prodi PBSI

SISTEM penjurusan di SMA awalnya diperkenalkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dengan membagi penjurusan menjadi dua, yaitu Budaya dan Sains. Pada akhirnya setelah masa kemerdekaan sistem penjurusan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu IPA, IPS, dan Bahasa.

Seiring perubahan yang terus terjadi di dunia pendidikan, jurusan Bahasa mulai meredup atau boleh dikatakan sudah tidak banyak peminatnya. Jurusan bahasa dianggap tidak memiliki prospek yang cerah bagi para siswa untuk bersaing di dalam kehidupan, terutama dalam persaingan ekonomi.

Hilangnya jurusan Bahasa sebagai jurusan di SMA kemudian menyisakan jurusan IPA dan IPS.

Program penjurusan yang dilaksanakan di SMA merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan siswa yang beragam.

Tapi, dalam pelaksanaannya, hal tersebut malah menimbulkan timbulnya tindakan diskriminatif terhadap siswa jurusan IPS. Sebagian besar masyarakat menganggap jurusan IPS sebagai tempat bagi siswa yang memiliki nilai akademis rendah dan memiliki sifat nakal atau suka melanggar aturan.

Oleh sebab itu, masyarakat memberikan label negatif kepada mereka. Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk
belajar, khususnya bagi siswa yang terdiskriminasi. Label yang telah tertanam pada jurusan IPS merupakan masalah dunia pendidikan yang harusnya menjadi perhatian penting untuk diselesaikan.

Fenomena tersebut telah menjadi momok bagi masyarakat yang membuat mereka takut untuk memasukkan anak mereka ke jurusan IPS.

Sekolah sebagai penyelenggara aktifitas pendidikan seharusnya menciptakan kondisi yang nyaman bagi siswanya. Namun pada kenyataanya, kondisi di sekolah malah merugikan sebagian siswa. Sekolah menjadi ajang untuk menunjukkan prestasi, bukan sebagai tempat untuk
menimba ilmu secara optimal. Sekolah saat ini merupakan tempat mereproduksi ketidaksetaraan;

sekolah melakukan fungsi ekonomi dan budaya yang mewujudkan aturan ideologis dalam upaya untuk melestarikan hubungan struktural kaum dominan.

Dalam hal ini penulis mendukung pendapat Nadiem Makarim yang kemungkinan besar akan menjadi solusi dari fenomena diatas. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mengatakan, Kurikulum Merdeka atau sebelumnya
disebut Kurikulum Prototipe akan memberikan otonomi dan kemerdekaan bagi siswa dan sekolah.

Nadiem mencontohkan, nantinya di sekolah SMA tidak akan ada lagi jurusan atau peminatan seperti IPA, IPS, atau Bahasa. “Di dalam program SMA sekarang tidak ada lagi program peminatan untuk yang memiliki Kurikulum Merdeka. Ya tidak ada lagi jurusan, kejuruan atau peminatan,” kata Nadiem secara virtual, Jumat (11/2/2022).

Ia mengatakan, siswa bisa bebas memlih mata pelajaran yang diminatinya di dua tahun terakhir saat SMA. Apa Gantinya? Siswa, lanjut Nadiem, tidak lagi akan terkatagorikan dalam kelompok jurusan IPA, IPS, atau Bahasa.

“Ini salah satu keputusan atau choice atau pemilihan yang bisa diberikan
kemerdekaan bagi anak-anak kita yang sudah mulai masuk dalam umur dewasa untuk bisa memilih,” ucapnya.

Adapun Kurikulum Merdeka dapat mulai digunakan di tahun ajaran 2022/2023. Sekolah juga tidak akan dipaksakan untuk mengikuti kurikulum itu, namun diberi kebebasan untuk memilih kurikulum yang sesuai kesiapannya.

Menurut Nadiem, konsep Kurikulum Merdeka juga sudah
banyak dipakai di negara-negara maju. Nadiem: Tidak Ada Pemaksaan Kurikulum Merdeka

Sebab, ia melanjutkan, jenis-jenis aktivitas yang ada dalam kurikulum ini lebih relevan dan banyak memberikan ruang untuk tugas berbasis proyek atau project base.

“Ini adalah skill-skill yang akan dibutuhkan anak itu pada saat dia keluar. Dia harus bisa bekerja secara kelompok,” kata Nadiem. “Dia harus bisa menghasilkan suatu hasil karya. Dia harus bisa berkolaborasi dan
memikirkan hal-hal secara kreatif,” imbuhnya.**

Dapatkan berita terbaru di Katasulsel.com