Jakarta, Katasulsel.com – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin dekat, dan peta koalisi antar partai politik di Indonesia semakin berkembang. Dalam perkembangan terbaru, muncul isu mengenai poros keempat yang menjadi alternatif dari tiga poros koalisi partai yang telah mengusung tiga calon presiden. Poros keempat ini diinisiasi oleh Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, yang menyebutnya sebagai ‘dji sam soe’. Airlangga mengklaim telah menjalin komunikasi dengan semua partai politik, termasuk PDIP, PAN, dan PKB.
Selain itu, ada juga wacana tentang peleburan dua koalisi yang ada saat ini, yaitu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang beranggotakan Gerindra dan PKB, serta Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP. Namun, dalam rencana peleburan ini, PPP akan dikesampingkan karena telah menjalin hubungan dengan PDIP.
Menanggapi hal ini, Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menyampaikan pandangannya bahwa kemunculan poros keempat ini didorong oleh partai-partai kuat di Indonesia seperti Golkar dan PAN. Didik berpendapat bahwa kedua partai ini memiliki rekam jejak yang kuat dalam pemerintahan dan parlemen, sehingga dapat menciptakan poros sendiri.
Didik juga menyoroti perkembangan politik saat ini yang semakin memperuncing potensi bubarnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Dalam konteks ini, Didik berpendapat bahwa Golkar dan PAN memiliki peluang untuk memperkuat posisi dan elektabilitasnya sendiri melalui pembentukan poros keempat.
Didik menjelaskan bahwa jika Golkar memutuskan untuk mengusung Airlangga Hartarto sebagai calon presiden, hal ini dapat memberikan dinamika yang lebih kuat bagi partai tersebut selama masa kampanye. Ia juga menyarankan agar wakil dari kader PAN bisa bergabung dengan Golkar untuk memperkuat koalisi ini.
Didik menekankan pentingnya memiliki koalisi yang lebih tersebar guna menghindari dominasi kekuasaan yang otoriter. Dominasi koalisi 82 persen di parlemen dinilai dapat mengancam demokrasi dengan munculnya wajah pemerintah dan aparat yang otoriter. Melalui pembentukan poros keempat, kekuatan politik dapat lebih seimbang dan demokrasi dapat terjaga.
Namun, langkah ini juga berpotensi mempengaruhi dinamika politik secara keseluruhan. Pemilihan presiden mungkin akan dilakukan dalam dua tahap atau masuk ke putaran kedua, yang berarti partai-partai yang kalah akan harus berhitung ulang dan membentuk koalisi baru. Hal ini akan menambah kompleksitas dalam perjalanan pemilihan presiden (*)
Tinggalkan Balasan