*) Muhammad Idris
**) Dosen Ilmu Komunikasi UMI
KATASULSEL.COM, MAKASSAR — Urgensi kehadiran Undang – Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 adalah membangun peradaban penyiaran di Indonesia yang modern, berdaulat, bermartabat, beretika, berbudaya dengan tetap berpijak pada nilai moral dan keagamaan. Artinya bahwa penyiaran masih memerlukan suplemen bernama kualitas penyiaran untuk meningkatkan harkat dan martabat serta harga diri bangsa.
Mengapa demikian? Sebab kepribadian bangsa tercermin seperti apa yang terlihat dalam wajah penyiaran kita. Wajah penyiaran sampai hari ini masih mempunyai pengaruh besar bagi peradaban bangsa. Meski beberapa tahun belakangan, pengaruhnya juga telah diambil sedikit demi sedikit oleh kehadiran youtube dan sosialmedia.
Beragam konten penyiaran dari berbagai media penyiaran akan turut mengkonstruksi budaya, membentuk perilaku masyarakat hingga diyakini mampu mendistorsi budaya. Program siaran seperti berita, talkshow, dialog, hiburan, hingga film dan sinetron tersaji baik bertujuan mengedukasi masyarakat audiens maupun demi menggerakkkan roda ekonomi bangsa masyarakat penyiaran.
Terlebih isu politik Capres Cawapres yang saat ini menjadi isu sentral disemua pemberitaan media penyiaran khususnya televisi beberapa bulan ini. Pemilu 2024 menjadi sangat strategis dan urgen bagi kehidupan demokratisasi di negeri ini. Bagaimana Masyarakat diajak untuk memilih pemimpin melalui pemilu yang bersih, transparan, adil dan riang gembira.
Pemberitaan lewat program pemilu harus mendorong keterbukaan demokrasi. Dengan membuka akses informasi seluas-luasnya dan seadil-adilnya, sehingga pemimpin terpilih betul-betul memiliki akuntabilitas dan kredibilitas sebagai pemimpin bangsa. Pemimpin yang lahir melalui pemilu beretika berdasarkan aspirasi rakyat. Pemimpin yang gagasannya jelas bukan sekedar pencitraan apalagi hanya menjadi pemimpin segelintir tim sukses.
Melalui akses informasi dari media penyiaran yang terbuka tentang kinerja dan jejak karya Capres dan Cawapres disajikan secara profesional dan beretika. Semuanya program siaran wajib berorientasi menjaga kedaulatan dan martabat bangsa, bukan malah memecahbelah bangsa. Pengalaman pemilu 2019 lalu, sudah cukup menjadi pengalaman kita bagaimana sesaknya kehidupan sosial berbangsa yang terbelah hanya karena beda pilihan.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa seringkali media penyiaran tidak merasa bersalah saat menyajikan tontotan yang penuh adegan kekerasan, konflik, pornografi, berita dan informasi buruk terkait moralitas dan tanpa disadari ikut memelihara suasana konflik politik yang terbelah setiap tahun politik. Apakah media penyiaran tidak memahami fungsinya dan perannya atau sengaja abai dengan dalih hanya menyajikan fakta apa adanya.
Padahal fungsi media penyiaran selain menyajikan atau merefleksikan fakta, tetapi juga berkewajiban melakukan framing (membingkai) fakta yang ada menjadi fakta yang memberi manfaat bagi moralitas dan kecerdassan demokrasi bangsa. Seperti yang diamanahkan dalam UU Penyiaran, UU Pers, Kode Etik Jurnalistik ataupun dalam Pedoman Perilaku dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Media penyiaran juga memiliki fungsi gatekeeper sama dengan media massa lainnya. Bagaimana mereka menyaring semua informasi dan fakta peristiwa sebelum menyiarkannya. Wajib memposisikan diri sebagai guide atau peta jalan. Bagaimana menunjukkan arah yang benar bagi masyarakat audiensnya. Hal lain adalah media penyiaran juga menjadi forum terbuka bagaimana ide dan gagasan masyarakat muncul demi membangun dialektika positif berdemokrasi dan membangun komunikasi interaktif demi upaya mencerahkan.
Peran pengawasan dan pelayanan ini harus menjadi tugas mulia Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkhusus KPID Sulawesi Selatan. Bagaimana mengajak media siaran mau mengharmonisasikan idealisme jurnalistik dan bisnis orientasi menjadi satu paket tontonan sekaligus tuntunan untuk mendewasakan cara berpikir dan berdemokrasi masyarakat audiens. Dengan begitu wajah penyiaran tetap memiliki kedaulatan dan tetap martabat dimata bangsa lain, InshaAllah.
Tinggalkan Balasan