Katasulsel.com, Makassar — Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Agus Salim, SH.,MH., turut serta dalam pemaparan 2 kasus penganiayaan yang diajukan untuk persetujuan Restorative Justice (RJ) dari Kejaksaan Negeri Makassar dan Kejaksaan Negeri Jeneponto, Rabu, 12 Juni 2024
Pengajuan penghentian penuntutan untuk kasus penganiayaan ini dilakukan melalui ekspose perkara secara virtual yang dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Jaksa Agung Muda Pidana Umum Asep Nana Mulyana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Nanang Ibrahim Sholeh, SH.,MH., dan Plt Aspidum Kejati Sulsel DR Jabal Nur.
Dua kasus tindak pidana penganiayaan yang diajukan untuk Restorative Justice melibatkan tersangka La Ode Julkifli Als Jul Bin La Ode Yamdi (30 tahun) dari Kejaksaan Negeri Makassar dan tersangka Nurbaeti S.Sos Binti Kamaji Nuhung (44 tahun) dari Kejaksaan Negeri Jeneponto.
Alasan pengajuan RJ termasuk pertama kali tersangka melakukan tindak pidana, ancaman hukuman yang tidak melebihi batas tertentu, kesembuhan korban, perdamaian antara kedua belah pihak, dan respons positif dari masyarakat.
Agus Salim menekankan pentingnya Restorative Justice sebagai upaya penegakan hukum yang mengedepankan pemulihan, keadilan, dan perdamaian. Ia menyoroti bahwa keadilan restoratif melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak terkait untuk mencari solusi yang adil dan memulihkan kondisi semula, bukan sekadar hukuman balas dendam. Melalui pendekatan ini, diharapkan tercipta penyelesaian yang memperkuat keadilan dan perdamaian dalam masyarakat.
Agus Salim juga memberikan pesan agar semua pihak menghormati upaya Restorative Justice sebagai bagian dari penegakan hukum yang berfokus pada pemulihan dan keadilan.
Keadilan restoratif merupakan pendekatan yang memungkinkan pelaku, korban, dan pihak terkait untuk berkolaborasi dalam mencari solusi yang adil dan membangun kembali hubungan yang terganggu akibat tindak pidana.
Dengan melibatkan semua pihak yang terkait, Restorative Justice memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahan mereka, memberikan korban kesempatan untuk menyampaikan dampak yang mereka alami, dan memfasilitasi proses rekonsiliasi yang bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini mencerminkan semangat keadilan yang mengutamakan pemulihan, kebersamaan, dan keadilan yang holistik. (*)
Tinggalkan Balasan