Dr. Harli juga menekankan pentingnya prinsip keadilan restoratif dalam kasus-kasus lainnya.
“Dengan menerapkan keadilan restoratif, kita tidak hanya mengurangi beban sistem peradilan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri dan berkontribusi positif kepada masyarakat. Pendekatan ini memberikan ruang bagi perdamaian dan pemulihan yang lebih manusiawi, sambil tetap menjaga kepentingan hukum dan keadilan,” paparnya.
Selain kasus Kaharuddin, JAM-Pidum juga menyetujui penghentian penuntutan dalam 11 kasus lainnya, mencakup pelanggaran dari pengancaman hingga pencurian dan penganiayaan.
Beberapa kasus yang mendapat perhatian termasuk pelanggaran Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Pengancaman oleh Irman Firmansyah dan Abd Azis bin Upa dari Kejaksaan Negeri Bantaeng, serta pelanggaran Pasal 362 KUHP tentang Pencurian oleh Agus Abdullah Als Agus dari Kejaksaan Negeri Buol.
Penghentian penuntutan dalam kasus-kasus ini mempertimbangkan beberapa faktor seperti proses perdamaian yang dilakukan tanpa tekanan, riwayat hukum pelaku, ancaman pidana yang tidak lebih dari lima tahun, komitmen pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya, serta dukungan masyarakat.
Keputusan ini juga mengacu pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022.
Dengan langkah ini, diharapkan sistem peradilan Indonesia semakin berorientasi pada pemulihan dan rekonsiliasi, mencerminkan komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.(*)
Tinggalkan Balasan