Makassar, katasulsel.com – Guncangan besar mengguncang dunia hukum nasional!
Dr. Fachruzal Afandi, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi, membunyikan alarm keras
Ia menyebut, revisi Undang-Undang (RUU) Polri yang tengah dibahas, belum saatnya untuk dilanjutkan.
Pernyataan mengejutkan ini, disampaikan dalam Focus Group Discussion yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Selasa 20 Agustus 2024.
“Sebenarnya, revisi RUU Polri ini berpotensi menjadi bencana hukum jika dipaksakan,” ujar Dr. Afandi dengan nada tegas.
Dia menegaskan bahwa banyak aspek krusial dari RUU Polri yang seharusnya dikaji lebih dalam dalam kerangka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bukan dipaksakan dalam RUU Polri.
Salah satu poin paling kontroversial adalah “Tambahan Kewenangan Penghentian Penyidikan” yang tercantum dalam Draft RUU Polri, yang menurut Dr. Afandi, sangat tidak sesuai dengan KUHAP saat ini.
“Apa yang tertulis dalam pasal 16 ayat (1) huruf j, tentang penghentian penyidikan, tidak dikenal dalam KUHAP!” tegasnya.
Lebih parah lagi, tambahan kewenangan untuk “pemblokiran ruang siber” tanpa penjelasan ketat (pasal 16 ayat (1) huruf q) juga menjadi sorotan. Dr. Afandi menyebutkan bahwa hal ini harus dibahas dalam KUHAP dan melibatkan perintah pengadilan, bukan sekadar dimasukkan dalam RUU Polri.
Belum selesai di situ, masalah lain muncul dengan kewenangan Polri dalam pembinaan hukum nasional, yang dinilai bertentangan dengan peran Badan Pembinaan Hukum Nasional KemenkumHAM.
“Ini jelas akan menyebabkan kekacauan dalam proses hukum kita!” tambahnya.
Potensi besar ketidakpaduan muncul dari pengaturan sektoral dalam RUU Polri, seperti kewajiban penyidik PNS dan khusus untuk mendapatkan rekomendasi dari POLRI sebelum mengirimkan berkas ke Penuntut Umum.
Dr. Afandi memperingatkan bahwa hal ini bisa membuat proses penyelidikan dan persidangan menjadi kacau dan tidak adil.
Tinggalkan Balasan