Penggantian Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM dengan Supratman Andi Agtas, misalnya, menimbulkan berbagai spekulasi. Yasonna, yang dikenal sebagai loyalis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), digantikan oleh Supratman, seorang politisi dari Partai Gerindra yang memiliki hubungan baik dengan Prabowo Subianto. Langkah ini dapat dilihat sebagai upaya Jokowi untuk memperkuat hubungan dengan Prabowo yang akan menggantikannya.
Dengan menempatkan Supratman di Kementerian Hukum dan HAM, Jokowi tampaknya ingin memastikan bahwa transisi kekuasaan berjalan mulus dan tanpa hambatan hukum yang signifikan. Selain itu, Supratman juga dipandang sebagai sosok yang dapat membantu menjaga stabilitas politik di dalam negeri. Terutama dalam menghadapi berbagai dinamika politik yang mungkin muncul selama masa transisi.
Strategi Ekonomi dan Politik
Penunjukan Rosan Roeslani sebagai Menteri Investasi menggantikan Bahlil Lahadalia juga menarik perhatian. Rosan bukanlah sosok baru dalam dunia bisnis dan politik Indonesia. Sebagai mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Rosan memiliki jaringan yang luas di kalangan pelaku bisnis dan investor internasional.
Lebih dari itu, Rosan memiliki kedekatan khusus dengan Prabowo Subianto, yang saat ini menjadi calon presiden terkuat dalam Pilpres 2024. Kedekatan ini terlihat dari perannya sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024. Penunjukan Rosan sebagai Menteri Investasi dianggap sebagai langkah strategis Jokowi untuk memastikan adanya kesinambungan kebijakan investasi dan ekonomi setelah ia lengser dari jabatannya.
Rosan diharapkan dapat membawa angin segar dalam menarik investasi asing, terutama di masa transisi pemerintahan. Dengan latar belakangnya yang kuat di sektor bisnis, Rosan dianggap mampu memberikan dorongan yang diperlukan untuk memperkuat stabilitas ekonomi nasional dan meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi.
King atau Kill?
Reshuffle kabinet Jokowi yang kesebelas ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah langkah ini akan menjadi strategi yang menguatkan pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya (King), atau justru akan menjadi langkah yang merugikan dan penuh risiko (Kill)?
Tinggalkan Balasan