Power Wheeling: Benalu dalam Transisi Energi Nasional !!! TOLAK POWERWHEELING!!!

Namun, lanjutnya, penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif
signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.

Berikut penjelasan Abrar terkait analisis dampak Power Wheeling berdasarkan berbagai perspektif.

Dampak Keuangan:

  1. Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik:
    Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan
    permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%. Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.
  2. Beban Keuangan Negara:
    Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling
    diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya ToP + Backup
    cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Dampak akumulatif hingga
    2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp317 triliun
    menjadi Rp429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 triliun.

Dampak Hukum:

  1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022:
    Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan
    unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah
    dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
  2. Mereduksi Peran Negara:
    Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk
    kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
  3. Potensi Sengketa:
    Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan
    merugikan masyarakat luas.

Dampak Teknis:

  1. Memperparah Oversupply:
    Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply.
    Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena
    pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan
    tidak stabil.
  2. Meningkatkan Risiko Blackout:
    Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan
    untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi
    (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.

Dampak Terhadap Ketahanan Energi:

  1. Ketersediaan Akses Listrik:
    Dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat.
  2. Harga Listrik yang Tidak Terjangkau:
    Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan
    meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta BUMN.
  3. Emisi Rendah:
    Dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.
  4. “Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi
  5. penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara,” paparnya.
  6. Kata Abrar, latar Belakang Legal Power Wheeling dan Privatisasi Energi,
  7. Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor kelistrikan.

Menurutnya, kemunculan kembali skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi
Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup