Mata nenek berkaca-kaca ketika rombongan polisi tak berseragam dinas ini masuk ke rumahnya.
Tak ada kata-kata keluar. Hanya isakan kecil, hampir tak terdengar.
Di dunia yang begitu cepat berlalu, siapa yang masih ingat dengan seorang nenek tua di sebuah desa terpencil?
Siapa yang peduli bahwa ia masih ada, masih bernapas, masih hidup meski sudah lumpuh dan tak berdaya?
Agung Rama Setiawan, yang biasanya tegap dan tegas, terdiam sejenak di hadapan nenek.
Matanya berkaca. Sembako itu, sekotak berisi bahan makanan, mungkin tak seberapa.
Tapi bagi nenek itu, mungkin ini adalah jembatan antara hari ini dan esok. Di mana ia bisa bertahan sedikit lebih lama, tanpa rasa takut akan lapar.
“Ini dari kami, Nek. Untuk makan sehari-hari…” Suara Agung Rama Setiawan, bergetar, mencoba menyembunyikan sesuatu yang terasa berat di dadanya.
Si nenek tak menjawab. Hanya senyumnya yang samar-samar.
Tak ada banyak tenaga yang tersisa dalam dirinya.
Tapi mata itu—mata yang telah menyaksikan seratus tahun lebih kehidupan, penuh perjuangan dan kesakitan—menatap penuh rasa terima kasih.
Tinggalkan Balasan