Sidrap, Katasulsel.com — Minggu, 13 Oktober 2024, Sidrap masih hangat. Syaharuddin Alrif melangkah ringan ke Lalebata, Panca Rijang. Langkah-langkah kecilnya terus bergerak, menembus lorong-lorong sempit, menjejak jalanan tanah. Debu-debu beterbangan, tapi senyum warga lebih terasa. Kehadirannya ditunggu.
“Assalamualaikum,” sapanya lirih namun mantap.
Tangan Syaharuddin tak pernah lelah. Tiap jabat erat, seperti menjalin benang-benang harapan. Warga mengerumuninya. Ada yang tua, ada yang muda. Tangan mereka saling bertaut. Ada doa terselip di sana. Kepeduliannya mengalir tanpa henti.
“Masyarakat bukan sekadar pemilih,” katanya suatu ketika. “Mereka adalah keluarga.”
Di Lalebata, ia lebih dari sekadar calon bupati. Syaharuddin adalah bagian dari keseharian. Dia menyapa dengan bahasa yang dipahami warga, bukan sekadar kata-kata, tapi rasa.
Sebuah sapaan, senyuman, dan pelukan hangat mengisi hari. Warga merasa tak ada jarak. “Lalebata selalu ada di hati saya,” ujar Syaharuddin di antara tawa riang anak-anak yang menyalaminya.
Dia bergerak di antara mereka seperti air yang mencari celah, mengisi kekosongan. Setiap sudut Lalebata, ia cermati dengan mata hati. Tak ada yang luput dari pandangannya. Dari senyum ramah ibu-ibu hingga keluhan para petani.
Seperti hujan di musim kemarau, kehadirannya memberi harapan baru. Sidrap, pikirnya, adalah tanah yang subur. Bukan hanya karena sawah dan ladang, tetapi karena hati warganya.
Satu per satu, warga memberikan suara hati mereka. Syaharuddin mendengarkan. Mendengar, seperti hujan yang turun pelan, meresap ke bumi. Ini bukan sekadar kampanye, ini adalah janji yang akan ditepati, suatu hari nanti.
Di penghujung hari, matahari mulai tenggelam di balik rumah-rumah sederhana. Tapi di hati warga Lalebata, harapan baru telah menyala.
Tinggalkan Balasan