banner 600x50

Sidrap, Katasulsel.com — Matahari sudah mulai lelah ketika H. Mashur tiba di Uluale. 

Senja menyambutnya dengan lembut, seperti tangan hangat yang menjabat erat. Langit mulai berwarna oranye, dan para warga sudah berkumpul. 

Bukan hanya sekadar pertemuan, ini lebih dari itu—ini silaturahmi, dialog, dan harapan yang berpendar di setiap mata yang menatapnya.

Di bawah naungan langit yang mulai gelap, ia berbicara. Bukan pidato yang berapi-api, bukan orasi panjang lebar. 

Kalimatnya pendek-pendek, tetapi jelas seperti air sungai yang mengalir di antara sawah-sawah di Sidrap.

“Program saya ini, bukan janji manis,” ujarnya tenang. “Ini kebutuhan, bukan lagi keinginan.”

Warga Uluale mendengar dengan saksama. Mereka bukan buta akan janji politik. Tapi, ada sesuatu dalam caranya berbicara. 

Sesuatu yang membuat mereka mau percaya. Mungkin karena Mashur tidak berbicara di atas panggung. Ia berbicara di tanah yang sama di mana mereka berpijak. 

Di kampung ini, di sawah ini, ia menyampaikan HAMAS NA—singkatan program yang menjadi bendera perjuangannya.

“Macca,” katanya. “Pendidikan itu kunci. Sekolah rusak, akan kita bangun. Anak-anak pintar tapi miskin, akan kita sekolahkan.”

Orang-orang tersenyum. Mereka tahu, masa depan bukan hanya soal harapan, tapi soal langkah nyata.

Setelah itu, matahari benar-benar pergi. Malam datang menyelimuti desa. 

H. Mashur pun melangkah ke Carawali. Kali ini di bawah gemerlap bintang, ia kembali bicara. Sama seperti di Uluale, namun suasananya lebih intim, lebih dekat. 

Warga Carawali sudah berkumpul sejak sore, menunggu. Ada rasa hangat di udara yang dingin.

Program berikutnya ia paparkan. “Mario,” katanya, tentang pertanian, perkebunan, dan peternakan. Tentang harga gabah yang stabil, pupuk yang cukup, dan air irigasi yang lancar. 

Warga yang mendengar angguk-angguk kepala. Sudah lama mereka merindukan perhatian seperti ini.

“Mari kita buat Sidrap lebih hidup,” katanya lagi. 

“Kita kembangkan industri di Pitu Riawa dan Pitu Riase. Supaya anak-anak kita tidak perlu ke kota, mereka bisa bekerja di sini, di tanah ini.”

Langit malam semakin gelap, namun pembicaraan terus mengalir. Seperti obor yang dinyalakan, janji-janji H. Mashur menghangatkan warga yang selama ini didera masalah keseharian.

Terakhir, ia berbicara soal “Madising.” Kesehatan. 

“Rumah sakit kita perlu diperbaiki,” ujarnya. “Bukan hanya fisiknya, tapi pelayanannya. Kita butuh lebih banyak dokter, lebih banyak tenaga medis, supaya tidak ada lagi yang menunggu terlalu lama saat sakit.”

Dan di Carawali, seperti di Uluale, harapan mulai tumbuh. Ini bukan hanya soal janji politik. Ini soal langkah-langkah kecil yang pasti. 

Seperti jalan desa yang akan diperbaiki, jembatan yang akan dibangun, dan lampu-lampu yang akan menyala di malam hari.

H. Mashur mengerti. Kemenangan bukan hanya di kotak suara, tapi di hati orang-orang ini. Dan di malam itu, di dua desa yang berbeda, ia tahu, ia sudah menyalakan lilin harapan di setiap mata yang memandangnya.

Sidrap tidak lagi sekadar tanah pertanian yang didera masalah klasik. Dengan HAMAS NA, tanah ini bisa jadi ladang masa depan.(*)