banner 600x50

Sidrap, Katasulsel.com — Desa Otting di Kecamatan Pitu Riawa yang biasanya senyap, mendadak ramai, Kamis, 17 Oktober 2024.

Malam itu, warna kuning mendominasi. Dari bendera, kaos, hingga panggung sederhana di tengah lapangan. 

Kuning, warna Partai Golkar, mewarnai desa kecil ini ‘menyambut’ H. Mashur, calon Bupati Sidrap dari partai berlambang pohon beringin itu.

Warga berduyun-duyun. Mereka ingin tatap muka. Bukan sekadar mendengar janji, tapi menyampaikan keresahan.

Lampu-lampu jalan yang tak seberapa terang memberi suasana syahdu. 

Angin desa sepoi-sepoi, membawa aroma tanah basah, sisa hujan sore tadi. Di bawah langit yang mulai gelap, wajah-wajah petani tampak serius. 

Mereka menunggu. Menunggu jawaban dari H. Mashur.

Seorang bapak tua, angkat bicara. Suaranya berat, penuh beban.

“Pak H. Mashur, air untuk sawah kami susah. Musim tanam selalu terhambat, apalagi di musim kemarau seperti sekarang. Belum lagi pupuk, itu harganya naik terus, susah didapat. Apa Bapak bisa bantu?”

H. Mashur tersenyum tipis. Tatapannya tajam, tapi lembut. Ia bukan orang baru di dunia pertanian. 

Desa-desa seperti Otting sudah jadi medan pertempurannya sejak lama. Ia angkat mikrofon, tapi tak langsung bicara. 

Ia menatap bapak itu, lalu menatap petani lainnya. Seperti seorang ayah yang siap menenangkan anak-anaknya.

“Air, pupuk, dan panen. Itu tiga kata yang paling sering saya dengar dari kalian, kan?” Suaranya mantap, disambut anggukan-anggukan pelan dari warga.

“Kita tahu, air adalah kehidupan. Pengairan harus lancar. Nanti, jika saya terpilih, saluran irigasi yang macet akan segera dibenahi. Tak boleh ada sawah yang kering di Otting.”

Warga mulai bergerak gelisah. Ada harapan di sana. H. Mashur melanjutkan.

“Dan pupuk… ah, pupuk ini memang sudah lama jadi masalah kita semua. Saya tahu kalian sering pusing karena harga pupuk yang mahal, dan susahnya mendapatkannya. Ini janji saya, pupuk akan murah. Mudah. Kalian tidak perlu lagi susah payah ke kota hanya untuk mendapat pupuk.”

Suasana semakin hidup. Warga mulai bersuara, beberapa terdengar berbisik. Wajah-wajah yang tadinya tegang kini mulai sedikit rileks.

“Tapi, Pak Mashur… panen gabah kami kadang tidak sebanding dengan jerih payah. Harga gabah jatuh saat panen raya tiba,” ucap seorang ibu, suaranya lirih, namun penuh beban.

H. Mashur mengangguk lagi. Ia mengerti. Persoalan klasik. Panen melimpah, tapi harga terjun bebas.

“Bu, ini tidak boleh terus-terusan begini. Saya akan pastikan harga gabah tetap stabil saat panen tiba. Pemerintah harus hadir untuk mengatur pasar, jangan biarkan tengkulak bermain.”

Senyap sesaat. Warga mendengarkan dengan khidmat. Malam semakin pekat, namun harapan warga Otting seperti menyala. Cahaya dari bendera-bendera kuning seakan menambah semangat.

“Dan terakhir, soal pemasaran. Saya akan buat sistem distribusi hasil panen yang lebih efisien. Petani di Otting tak perlu lagi bingung mau jual kemana. Hasil kerja keras kalian harus dihargai.”

Suasana di lapangan desa itu kian hidup. Padi menguning di sawah-sawah sekitar, dan warna kuning Golkar seakan menyatu dengan optimisme baru. 

H. Mashur mengakhiri dengan kata-kata penutup, tapi rasanya bagi warga ini bukan sekadar pidato kampanye. Mereka melihat sosok yang mengerti jeritan mereka. Seorang calon pemimpin yang tak hanya datang menawarkan janji, tapi solusi nyata.

Malam itu, Desa Otting memang berbeda. Kuning bukan hanya warna. Kuning adalah harapan baru.(*)