Gibran, sang wakil, mengikutinya dengan lantang. Di usianya yang masih muda, ia tampak seperti tunas baru yang dipaksa tumbuh di tengah badai.
Seperti pepatah Jawa, “Kakang kawah, adhi ari-ari,” ia kini dihadapkan pada tugas besar—membawa amanah bangsa, seolah-olah melawan arus besar kehidupan.
Ahmad Muzani menutup sesi sumpah dengan kalimat yang menandakan satu hal: era baru telah dimulai. Tapi tak ada yang tahu, apakah ini musim panen atau musim kering.
Pemilu 2024, yang penuh hiruk-pikuk dan riuh rendah, kini mencapai puncaknya. Mereka yang menang di bilik suara, kini harus menang di hati rakyat.
Di luar gedung, rakyat menunggu. Ada yang berharap, ada yang cemas.
Dalam politik, seperti di medan perang, setiap langkah bisa berarti kemenangan atau kekalahan.
Dan Prabowo tahu itu. Sementara Gibran, dengan segala yang telah dipelajari dari ayahnya, Jokowi, tampaknya telah siap menghadapi gelombang yang lebih besar.
Lima tahun ke depan bukanlah jalan lurus. Akan ada tanjakan, lubang, dan belokan tajam.
Tapi hari itu, di Gedung MPR RI, mereka melangkah dengan keyakinan.(*)
Tinggalkan Balasan