banner 600x50

Jakarta, katasulsel.com — Abdul Mu’ti diam di Senayan. Tidak bicara banyak. Di hadapannya sudah tersusun agenda besar, Merdeka Belajar. Sebuah warisan dari Nadiem Makarim yang gemilang—atau penuh pertanyaan. Dua minggu, katanya. Dua minggu untuk mendengar, menyelami, memahami.

Abdul Mu’ti bukan sosok yang tergesa-gesa. “Saya ini biasanya ceramah, sekarang giliran saya mendengar,” ucapnya singkat. Mendengar. Sebuah kata sederhana, tapi bisa mengubah arah. Sabar, Menteri Mu’ti tahu ia di atas gelombang besar. Menjaga keseimbangan, seperti seorang nahkoda di samudra yang bergejolak.

Presiden Prabowo menunjuknya langsung. Bersama kabinet yang baru terbentuk, ia harus segera menyesuaikan diri. “Saya harus lihat dulu program presiden lima tahun ke depan,” katanya. Artinya, semua kebijakan lama bisa saja dilanjutkan, bisa saja berubah. Merdeka Belajar, yang jadi sorotan publik, pun begitu.

Dua wakil menteri akan menemani. Fajar Riza Ul Haq dan Atip Latipulhayat. Tapi tetap, keputusan akhir di tangannya. Apakah kurikulum itu tetap menjadi pilar pendidikan, atau ada modifikasi di tengah jalan? Jawabannya masih tergantung di awan. Menunggu Mu’ti selesai mendengar.

Mu’ti paham betul, pendidikan itu bukan sekadar kurikulum. Bukan hanya soal angka dan ranking. Ini soal masa depan anak-anak bangsa. Jika salah melangkah, generasi berikutnya yang menanggung beban.

Ia mengibaratkan dirinya seperti seorang pelukis. Mewarisi kanvas dari Nadiem, tapi kuas di tangan Mu’ti. Apakah ia akan teruskan garis-garis yang sudah ada, atau memulai goresan baru?

Satu hal yang pasti, perjalanan pendidikan kita memasuki babak baru. Di tangan Abdul Mu’ti, ke mana arah kapal ini akan berlayar, kita tunggu saja dua minggu lagi. Lanjut atau berubah?