banner 600x50

Nene’ Mallomo, sosok yang namanya tak pernah lepas dari sejarah Kabupaten Sidrap. Ia bukan hanya cendekiawan biasa, tapi juga simbol kebijaksanaan yang hidup pada masa Kerajaan Sidenreng di abad ke-16.

Oleh: Edy Basri

Di bawah pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng, Nene’ Mallomo menjadi penasehat utama, memberi arahan, dan mengawal prinsip-prinsip keadilan yang hingga kini diwariskan.

Ada juga catatan lain yang menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo sebenarnya hidup lebih awal, di masa Raja La Pateddungi. Terlepas dari itu, ia meninggal pada tahun 1654 di Allakuang.

Kalimat yang dikenang hingga kini dan menjadi landasan moral banyak orang adalah mottonya: “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata”—kerja keras yang tak mengenal lelah akan membawa berkah dari Sang Dewata.

Pada masa itu, setiap kerajaan memiliki seorang cendekiawan sebagai penasehat kerajaan, orang bijak yang menjadi jembatan antara penguasa dan rakyat.

Mereka bukan sekadar ahli pikir, tapi juga penjaga moral dan etika di tengah dinamika kerajaan. Di Bugis, ada lima cendekiawan yang namanya dikenal luas, mewakili masing-masing kerajaan:

  1. Kajao Laliddo dari Kerajaan Bone,
  2. Nene’ Mallomo dari Kerajaan Sidenreng,
  3. Arung Bila dari Kerajaan Soppeng,
  4. La Megguk dari Kerajaan Luwu, dan
  5. Puang ri Maggalatung dari Kerajaan Wajo.

Kisah yang tersimpan dalam ingatan kolektif Bugis adalah bagaimana para cendekiawan ini sering bertemu, berdiskusi, dan saling bertukar pikiran.

Salah satu pertemuan paling legendaris terjadi di Cenrana, di mana berkumpul tokoh-tokoh terkemuka seperti Kajao Laliddo dari Bone, Puang ri Maggalatung dari Wajo, dan tokoh-tokoh lain seperti Topacaleppang dari Soppeng, Macca e dari Luwu, serta Boto Lempangan dari Gowa.

Pertemuan ini bukan hanya sekedar ajang silaturahmi, melainkan momen di mana gagasan besar tentang pemerintahan, keadilan, dan kesejahteraan dibahas dengan cermat.

Dari sinilah lahir berbagai keputusan bijak yang menggerakkan kerajaan-kerajaan Bugis menuju kemakmuran dan stabilitas.

Nene’ Mallomo dengan segala kebijaksanaannya telah meninggalkan jejak mendalam di Sidrap. Ia adalah simbol bahwa kekuasaan harus diimbangi dengan keadilan, dan kebijaksanaan hanya bisa tumbuh dari kerja keras serta pengabdian tanpa pamrih.

Hingga kini, spirit Resopa Temmangingngi masih hidup dalam sanubari masyarakat Sidrap. (bersambung..klik ini)