banner 600x50

Nene’ Mallomo, sosok cendekiawan yang namanya abadi dalam sejarah Kabupaten Sidrap, adalah simbol kebijaksanaan dan penegak hukum yang tak memandang bulu.

Oleh: Edy Basri

DI TENGAH kerajaan Sidenreng pada abad ke-16, buah pikirannya menjadi pegangan, bukan hanya bagi para penguasa, tetapi juga seluruh masyarakat.

Salah satu prinsip yang ia sampaikan dalam pertemuan para cendekiawan Bugis di Cenrana adalah “Naia Adek Temmakkeana Temmakkeappo”—hukum tidak mengenal anak cucu.

Prinsip ini menunjukkan ketegasan dan keadilan, bahwa tak seorang pun bisa lepas dari aturan hukum, bahkan keluarga terdekat sekali pun.

Nene’ Mallomo bukan hanya bijaksana dalam kata, tetapi juga dalam tindakan. Ia dianggap sebagai pemecah masalah ulung, yang mampu menemukan jalan keluar atas berbagai persoalan kompleks di masyarakat.

Nama aslinya, La Pagala atau La Makkarau, dikenal luas bukan hanya di Sidenreng, tetapi juga di seluruh wilayah Bugis.

Ia menjadi contoh seorang pemimpin yang jujur, adil, dan berpegang teguh pada prinsip keadilan yang berlaku untuk semua.

Selain dikenal sebagai ahli hukum dan pemerintahan, Nene’ Mallomo juga membawa nilai-nilai pangadereng—sebuah sistem norma yang mengatur tatanan hidup masyarakat Bugis.

Menurut Muh. Salim (1984), pangadereng mencakup berbagai unsur penting seperti:

Adek, tindakan yang membawa keseimbangan,
Bicara, ucapan yang saling menghormati dan menyembuhkan,
Rapang, percontohan yang memberi teladan,
Wari, tata cara yang mengatur perbedaan.

Prinsip ini menjadi pedoman yang kuat dalam kehidupan masyarakat Bugis, mengatur bagaimana seseorang berinteraksi dengan sesama dan lingkungan sosialnya.

Di balik kebijaksanaannya, Nene’ Mallomo juga seorang yang sederhana dan rendah hati.

Ia memandang bahwa masyarakat Sidrap harus memiliki sifat-sifat dasar seperti:

Macca (pintar),
Malempu (jujur),
Magetteng (konsisten),
Warani (berani),
Mapato (rajin),
Temmapasilengang (adil), serta
Deceng Kapang (menghormati orang lain).

Lebih dari sekadar tokoh intelektual, Nene’ Mallomo juga menggagas falsafah hidup yang terkenal dengan 5 M, yaitu:

Massappa (mencari rezeki yang halal),
Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal),

Mappabotting (mempererat silaturrahmi melalui pernikahan),
Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji), dan
Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan ikhlas).

Salah satu petuah yang terkenal dari Nene’ Mallomo adalah nasihatnya kepada para pejabat kerajaan, yang terdiri dari Arung Mangkauk (penguasa), pabbicara (hakim), dan suro (pembantu penguasa).

Ia menekankan pentingnya kejujuran dan tutur kata yang baik, yang menurutnya adalah kunci panjang umur dan kelanggengan kepemimpinan.

Baginya, kejujuran adalah sesuatu yang takkan pernah pudar atau hancur.

Kearifan dan ketegasannya membuat Nene’ Mallomo diabadikan sebagai ikon Kabupaten Sidenreng Rappang, yang kini dikenal sebagai Bumi Nene’ Mallomo.

Warisannya, baik dalam pemikiran maupun tindakan, masih hidup dalam masyarakat Sidrap hingga hari ini.(*)