Sidrap, Katasulsel.com — Suasana malam di Kelurahan Majeling Watang, Kecamatan Maritengngae, Selasa, 22 Oktober 2024, tampak bersahabat.
Angin berembus pelan, seperti tahu akan ada pertemuan penting.
Di atas panggung kecil yang dikelilingi wajah-wajah penuh harap, Dony, sapaan akrab Muh Yusuf Dollah, melangkah maju.
Senyum tipis di bibirnya. Ini bukan panggung besar, tapi cukup besar untuk menampung harapan ratusan orang yang hadir malam itu.
Di sebelahnya, Ketua Tim DOATA, Saenal dan anggota, berdiri tegak, senyumnya tak kalah hangat.
“Dari sini, dari Majeling Watang, kita mulai,” Dony membuka pembicaraan.
Mata-mata warga tertuju padanya. Mereka tahu, Dony bukan sekadar datang untuk bicara. Ia membawa sesuatu—janji yang lebih dari sekadar kata-kata.
“Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bagi yang kurang mampu, tak perlu lagi bayar. Kalau objek pajaknya di bawah Rp 50.000, pemerintah yang tanggung. Kita ringankan beban, biar keluarga bisa tenang.”
Kata-kata itu meluncur seperti aliran sungai di musim kemarau—mengisi kekosongan, memberi harapan baru. Seorang bapak di barisan depan tampak mengangguk, matanya berbinar. Pajak, baginya, adalah beban yang selalu menghantui, kini hilang dalam satu tarikan napas.
“Listrik? Tak perlu lagi takut tagihan,” lanjut Dony. “450 sampai 900 KWH, gratis. Biar dapur tetap ngebul, biar malam tetap terang.”
Gema tepuk tangan terdengar, namun tak terlalu keras. Warga tampaknya masih mencerna apa yang baru saja mereka dengar. Gratis listrik, sesuatu yang mungkin dulu hanya ada dalam mimpi.
Datar, yang berdiri di sebelahnya, menambahkan. “Kami juga akan bangun 1.000 rumah setiap tahun. Rumah-rumah yang tak layak huni akan kami renovasi. Kami bangun, dari pondasi sampai atap. Hidup yang layak dimulai dari tempat tinggal yang layak.”
Suara riuh mulai terdengar. Harapan semakin nyata. Rumah, bagi sebagian warga, adalah mimpi yang selalu tertunda. Namun malam itu, Dony dan Datar datang membawa peta menuju mimpi itu.
“Orang sakit juga tak perlu pusing lagi,” sambung Dony, “Kita siapkan layanan antar-jemput gratis ke rumah sakit. Biar yang butuh cepat ditangani, nggak usah pikir biaya transportasi.”
Sekali lagi, wajah-wajah di depan panggung tampak berubah. Dari ragu menjadi percaya. Dari takut menjadi lega.
“Seragam sekolah, dari TK sampai SMP, juga gratis bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Biar nggak ada lagi yang terpaksa berhenti sekolah hanya karena tak punya seragam,” lanjut Dony.
Sorak-sorai terdengar lagi, lebih kuat kali ini. Anak-anak yang duduk di bahu ayah mereka ikut tersenyum, membayangkan seragam baru yang akan mereka kenakan.
Dony tak berhenti di situ. “Kita juga alokasikan Rp 5 miliar per kecamatan, setiap tahun, untuk infrastruktur jalan dan jembatan. Akses harus lancar, biar ekonomi kita bergerak. Biar Sidrap jadi tempat yang lebih baik.”
Warga mengangguk, setuju. Jalan adalah urat nadi desa. Jika jalannya mulus, ekonomi bisa berputar lebih cepat.
Tak lupa, Datar menutup dengan penuh keyakinan. “Dan jangan lupa, para imam, pegawai syara, dan guru mengaji juga akan kita perhatikan. Kesejahteraan mereka akan kami jaga. Karena mereka adalah penjaga moral dan spiritual kita.”
Malam itu, di bawah langit Majeling Watang, Dony dan Datar tak sekadar berbicara. Mereka seperti menanam pohon harapan di hati setiap orang yang hadir. Program-program itu seperti benih yang siap tumbuh, menjanjikan masa depan yang lebih baik.
Dan warga, yang semula hanya datang dengan keraguan, pulang dengan keyakinan: Sidrap akan berubah.(*)
Tinggalkan Balasan