banner 600x50

Sidrap, Katasulsel.com — Langit malam itu seperti berbisik. Angin berembus pelan, menggoyang bendera kuning yang tegak berdiri di halaman rumah-rumah warga.

Di Walatedong, Kecamatan Watang Sidenreng, wajah-wajah penuh harap berkumpul. Warga kompak. Berseragam kuning, seperti lautan Golkar yang menyatu.

Malam itu, Senin, 21 Oktober 2024, sebuah pertemuan terjadi. H. Mashur, calon bupati nomor urut 3, berdiri tegak, siap melebur dengan pemuka adat di bawah kolong rumah.

Tak ada jaket tebal. Hanya kaus coklat sederhana yang membalut tubuhnya. Sebuah kopiah hitam menghiasi kepalanya, tanda penghormatan pada budaya setempat.

Warga menyambutnya dengan senyum dan tepuk tangan. Suasana hangat. Hangat bukan hanya karena lampu-lampu jalan yang menerangi, tapi juga karena harapan.

Bersama wakilnya, H. Nasiyanto, yang akrab dipanggil HAMAS NA, H. Mashur tak datang untuk bicara panjang. Malam itu adalah dialog. Percakapan. Tatap muka dengan mereka yang akan menentukan nasib Sidrap di masa depan.

“Apa kabar Sidrap? Apa kabar Walatedong?” tanyanya, membuka pertemuan.

Suara warga bergemuruh menjawab, “Alhamdulillah, baik Pak!”

Lalu mulailah percakapan itu. Tanpa jarak. Tanpa podium tinggi. H. Mashur berdiri di tengah kerumunan, seperti layaknya seorang teman yang berbincang di depan rumah. Ia berbicara tentang Sidrap yang ia mimpikan.

“Ini tentang masa depan kita bersama,” katanya. “Kami ingin Sidrap jadi lebih macca. Jadi lebih cerdas. Kami akan renovasi semua sekolah rusak, kami siapkan beasiswa, dari SD sampai perguruan tinggi. Anak-anak kita harus dapatkan pendidikan terbaik.”

Warga mengangguk. Harapan tentang pendidikan yang lebih baik selalu jadi mimpi mereka.

Lalu ia bicara tentang pertanian. Tentang harga gabah yang kerap kali jatuh. “Petani tak boleh rugi. Kita jaga harga. Kita pastikan pupuk tersedia. Dan bukan hanya itu, kita akan buka akses pasar hingga keluar negeri. Petani Sidrap harus bisa bersaing.”

Tepuk tangan terdengar. Petani, peternak, nelayan, semuanya merasa didengar.

Tak berhenti di situ, H. Mashur melanjutkan soal kesehatan. “Madising. Kesehatan itu penting. Kami akan bangun rumah sakit regional. Tenaga medis akan kami tambah. Tak ada lagi warga yang sakit tapi tak tertangani. Semua harus dapat BPJS gratis,” ucapnya tegas.

Warga saling pandang. Kesehatan, hal yang sering dianggap sepele tapi selalu jadi kebutuhan. Mereka merasa ada yang peduli.

Lalu, tiba giliran infrastruktur. “Jalan desa, jalan tani, jembatan—semua akan kami tingkatkan. Dan Sidrap akan menyala. Tak ada lagi desa yang gelap. Kita akan bangun Sidrap yang lebih terang, lebih aman,” lanjutnya.

Danau Sidenreng yang jadi kebanggaan mereka juga tak luput dari perhatiannya. “Kita jadikan danau ini wisata terbaik di Indonesia. Bukan hanya cerita, tapi kenyataan.”

Tawa kecil terdengar dari warga. Mereka tahu, janji ini bukan omong kosong belaka. Karena H. Mashur berbicara bukan sekadar berjanji. Ia berjanji sambil menyapa langsung hati mereka.

Malam semakin larut, tapi percakapan masih berlanjut. Tentang keagamaan, tentang sosial kemasyarakatan, hingga pemerintahan yang lebih bersih dan profesional.

“Bersama HAMAS NA, kita akan bangun Sidrap yang berdaya. Yang lebih sejahtera,” katanya menutup pembicaraan.

Dan malam itu, Walatedong tak hanya menjadi saksi sebuah janji politik. Tapi juga saksi harapan yang disemai. Harapan tentang Sidrap yang macca, mario, madising, madeceng, mabbarakka, berdaya, malebbi, dan makessing.

Malam itu, warga Walatedong tak hanya melihat seorang calon pemimpin. Mereka melihat masa depan.(*)