Di panggung sebelah, pada hari sebelumnya, dialektika berkumandang lewat karya Cita Tenun Indonesia, Oscar Lawalata Culture, fbudi, dan Era Soekamto. Masing-masing memaknai tenun dalam tiga langkah: tesis, antitesis, dan sintesis.
Oscar memilih tenun songket Halaban yang kaya warna. Ia mengolahnya menjadi pakaian siap pakai yang lekat dengan karakter Sumatera Barat. Pastel yang lembut, merah marun, hingga emas dan perak – tiap helai memiliki kekuatan yang tenang, tetapi berbicara tegas.
Lalu ada Felicia Budi yang membawa tenun Sobi Muna dari Sulawesi Tenggara dalam gaya streetwear. Warna-warna vibran dan aksen liuknya tak ubahnya permainan tetris. Felicia menyebutnya “cocok untuk streetwear” – siapa saja bisa mengenakannya, kapan saja, di mana saja. Sebuah cara bagi tenun Sobi untuk bernafas di antara denyut muda.
Era Soekamto hadir dengan interpretasi tenun cual Sambas. Ia membiarkan kehalusan Melayu dan keanggunan Dayak melebur dalam koleksi “Pakerti.”
Ada energi maskulin yang subtil, menyiratkan bahwa kecantikan bukan hanya soal rupa, tetapi martabat dan kehormatan. Era mengemasnya dalam siluet yang tetap feminin, namun kuat – sebuah simbol dari perpaduan adat, status, dan sosial.
Jakarta Fashion Week 2025 bukan sekadar peragaan. Ia adalah panggung hidup, di mana wastra, kebaya, dan tenun membisikkan pesan-pesan yang tak lekang oleh waktu.
Di balik warna-warna cerah dan rumbai, di balik interaksi spontan di runway, ada kisah-kisah yang ingin lestari. Seperti lagu yang diputar berulang kali, tapi tak pernah kehilangan makna. (*)
Tinggalkan Balasan