“Setiap bulan harus ada sesuatu yang baru. Mungkin wahana lama yang sudah ditutup bisa dibuka lagi. Dulu ada permainan adrenalin, seperti nyebrang di atas kayu dan flying fox. Itu yang bikin kita datang!”
Ada nada kerinduan dalam suaranya, seperti lagu yang dinyanyikan oleh seorang pengembara yang merindukan rumah. Ia melanjutkan, “Renovasi wahana yang ada juga penting. Masyarakat perlu merasa aman.”
Namun, di balik harapan itu, ada realitas. Tiket masuk seharga Rp 30 ribu dinilai terlalu mahal untuk mereka yang hanya ingin menikmati pantai.
“Tapi buat sebagian orang, itu berat. Terutama jika hanya ingin bersantai,” tambahnya.
Senada dengan Irma, Ibnu, seorang pengunjung berusia 32 tahun, mengangguk. “Saya sih tidak masalah dengan harga tiket. Tapi untuk keluarga yang ingin hanya menikmati pantai, itu terasa mahal.”
Taman Impian Jaya Ancol, sebuah oase yang harus berjuang di tengah tantangan. Di satu sisi, pesona pantai menanti, di sisi lain, pengunjung memilih wahana yang lebih terjangkau.
Seperti dua sisi koin, keduanya saling mempengaruhi.
Saatnya bagi Ancol untuk merenung. Di tengah deburan ombak dan harapan pengunjung, ada tantangan untuk bangkit.
Memperbarui, menghidupkan kembali, dan menarik kembali hati pengunjung yang pernah setia. Dengan langkah kecil namun pasti, Ancol harus menemukan kembali ritme yang hilang.
Agar kembali menjadi tempat impian, bukan hanya sekadar tujuan. (*)
Tinggalkan Balasan