Dengan media sosial, kita bisa berinteraksi langsung dengan pembaca. Komentar, like, share—semua adalah jembatan untuk berkomunikasi. Pembaca kini bukan hanya konsumen, tetapi juga partisipan.
Namun, kritik adalah pedang bermata dua. Ini bisa jadi alat untuk memperbaiki diri. Menghargai masukan pembaca adalah langkah awal untuk meningkatkan kualitas.
Dengan mendengar, kita memahami selera mereka dan menciptakan konten yang lebih relevan.
Kembali pada pertanyaan awal: apakah tulisan kita benar-benar dibaca? Jawabannya ada di tangan kita.
Setiap penulis memiliki tanggung jawab untuk menyajikan tulisan yang layak dibaca—dari gaya bahasa hingga penyampaian pesan.
Ketika kita menulis, kita membangun jembatan. Jika kita mampu membuatnya kokoh, tulisan kita akan dibaca. Jika tidak, tulisan kita hanyalah lembaran yang terabaikan.
Menjamurnya media online adalah berkah sekaligus tantangan. Di tengah persaingan ketat, kita harus menciptakan karya yang bukan hanya dibaca, tetapi juga dirasakan. Kualitas dan keterhubungan adalah kunci untuk meraih perhatian pembaca.
Jadi, mari kita bertanya: haruskah kita menghantam agar tulisan kita dibaca? Jawabannya, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan keahlian. Bukankah kekerasan hanya ‘menghacurkan’?
Dengan memahami dan menggerakkan hati, semoga kita bisa menjawab: Ya, tulisan kita benar-benar dibaca! (*)
Tinggalkan Balasan