Rumah ini adalah rumah yang ditunggu-tunggu. Rumah yang telah lama dinanti, setelah bertahun-tahun Abd Muin dan keluarganya “hijrah” dari Sidrap ke Makassar.
Ini adalah simbol dari perjalanan panjang, kerja keras, dan dedikasi. Saya, Edy Basri, yang dulu hanya seorang jurnalis junior di Harian Fajar, kini berdiri di depan rumah seorang mentor—seorang jurnalis yang saya kagumi.
Hari itu, saya bersama teman sesama jurnalis dari katasulsel.com, Tipoe Sultan, datang berkunjung.
Pintu terbuka, dan saya disambut dengan hangat oleh Muin. Suasana rumah yang tenang terasa hangat, seperti sambutan yang penuh rasa hormat.
Satpam dengan sigap menjaga kompleks ini, menciptakan suasana yang elit namun nyaman. Rumah ini, meskipun besar, tetap terasa sederhana, tidak berlebihan, persis seperti kepribadian Muin.
Lalu kami duduk bersama di ruang tamu yang terang, berbincang tentang perjalanan hidup, dunia jurnalisme, dan juga perkembangan keluarga kami masing-masing.
Namun, di balik suasana yang nyaman itu, ada cerita yang membuat hati saya terenyuh. Muin, yang biasa kami kenal dengan semangatnya yang tak kenal lelah, kini terlihat sedikit lebih tenang.
Mata tuanya yang tajam itu menyimpan kepedihan yang sulit untuk disembunyikan. Istrinya, Nurhayati Muin, mantan jurnalis Berita Kota Makassar (BKM), sedang terbaring sakit.
Tinggalkan Balasan