Sarafnya terjepit, dan vertigo membuatnya tak bisa bergerak dengan leluasa. “Sudah sekian lama ini tidak bisa gerak,” kata Muin dengan suara yang penuh keprihatinan.
Saya terdiam sejenak. Tak ada lagi tawa riang yang biasa mengisi rumah itu. Hikmah, anak sulung mereka yang lebih banyak dikenal jebolan artis KDI, kebetulan sedang berada di Jakarta untuk urusan pekerjaan. Maklum, Imma– begitu saya akrab menyapanya kini telah sibuk dengan kesehariannya bekerja di salah satu bank ternama.
Adiknya, Ucy- si anak bungsu, kini sudah beranjak dewasa, begitu pun dengan Awal, sang kakak, juga mulai memasuki masa remaja.
Semuanya sedang tumbuh, begitu juga dengan rumah ini—rumah yang tidak hanya dibangun dari batu dan semen, tapi juga dari cerita hidup yang penuh warna.
Bagi saya, kunjungan ini bukan sekadar berbicara tentang kemewahan rumah atau pencapaian dalam karier.
Ini adalah tentang kehidupan, yang meskipun penuh dengan suka dan duka, selalu punya cara untuk terus bergerak maju.
Muin telah menunjukkan pada saya, bahwa dalam setiap langkah besar yang kita ambil, ada kisah yang tak selalu tampak oleh mata orang lain.
“Rumah ini bukan hanya tentang materi,” kata Muin pelan, “Ini adalah tempat di mana kami bisa tetap bersama. Di balik setiap sudut, ada doa dan harapan yang tak pernah putus.”
Tinggalkan Balasan