banner 600x50

Makassar, Katasulsel.com — Program Jaminan Gagal Panen yang diusung pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Uchu-Liwang nomor urut 2 telah menjadi sorotan publik. Program yang bertujuan memberikan perlindungan kepada petani melalui skema asuransi ini menuai beragam tanggapan.

Pengamat ekonomi sekaligus dosen Universitas Bosowa, Dr. Abdul Karim, SE., MM. menyebutkan bahwa meskipun program ini tampak menarik di atas kertas, ada alasan logis mengapa pihak asuransi kemungkinan besar akan menolak terlibat.

Menurut Abdul Karim, salah satu faktor utama adalah tingkat risiko yang tinggi dalam sektor pertanian.

“Bencana alam, cuaca ekstrem, dan wabah hama adalah ancaman tak terprediksi yang dapat menyebabkan gagal panen massal. Kondisi ini bisa membuat perusahaan asuransi menghadapi kerugian besar,” ujarnya.

Selain itu, Abdul Karim juga menyoroti potensi penyalahgunaan klaim. Menentukan apakah gagal panen disebabkan oleh cuaca buruk atau kelalaian petani adalah hal yang sulit.

“Tanpa mekanisme verifikasi yang ketat, klaim palsu bisa meningkat, dan ini akan merusak keberlanjutan program,” jelasnya, Senin (18/11/2024) lalu

Tidak kalah penting, premi asuransi yang tidak mencukupi risiko menjadi tantangan tersendiri. Abdul Karim menjelaskan bahwa  banyak petani mungkin tidak mampu membayar premi yang sesuai dengan tingkat risiko. “Bagi perusahaan asuransi, situasi ini tidak menarik secara finansial,” tambahnya.

Abdul Karim juga mengingatkan bahwa keberhasilan program semacam ini sering kali bergantung pada kebijakan pemerintah yang tidak selalu stabil. “Ketergantungan ini menciptakan ketidakpastian bagi pihak asuransi, terutama jika terjadi perubahan politik, kebijakan atau krisis anggaran,” paparnya.

Dia menekankan pada kompleksitas logistik dalam pengelolaan program ini. “Mengelola ribuan petani sebagai peserta asuransi, memverifikasi klaim, hingga mencairkan pembayaran membutuhkan infrastruktur operasional yang sangat kompleks dan mahal,”

Selain itu, Abdul Karim juga menyoroti masalah teknologi pertanian yang diharapkan dapat melakukan validasi dan verifikasi terhadap klaim asuransi gagal panen tersebut. “Teknologi pertanian haruslah dibangun terlebih dahului sebagai instrumen utama dalam proses validasi dan verifikasi, seperti data base yang akurat, aplikasi berbasis blockchain, teknologi pemantauan cuaca, citra satelit, teknologi irigasi, dan lain-lain, sehingga pihak asuransi dapat menilai risiko lebih baik” tutup Abdul Karim.

Terakhir, Abdul Karim mempertanyakan bagaimana pemerintah daerah membangun model kerjasama dengan pihakan perusahaan asuransi. “salah satu model kerjasama yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Daerah adalah model MoU dengan asuransi, tetapi kita tidak pernah diberikan klarifikasi seperti apa skema para pihak didalam MoU tersebut apabila terjadi gagal panen secara massal dan simultan?”

Lanjut Abdul Karim “skema di dalam MoU tersebut terkait dengan kesiapan para pihak dalam menanggung apa terhadap kerugian yang di derita oleh petani, sebab kerugian yang di derita oleh petani tidaklah kecil jika terjadi gagal panen, mulai dari kerugian benih, pupuk, hingga biaya operasional”

“Tentu saja Pemerintah dapat bertindak sebagai reinsurer, menanggung sebagian besar risiko. Dalam skema ini, pihak asuransi hanya menanggung risiko kecil, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menerima, namun skema ini akan memberikan beban tambahan yang cukup besar bagi APBD, di mana belanja APBD lebih banyak digunakan untuk belanja modal dan pegawai serta belanja pengadaan infrastruktur misalnya,” ujar Abdul Karim.

Program Jaminan Gagal Panen mungkin terdengar seperti solusi ideal bagi petani, tetapi jika tidak dirancang dengan matang, program ini berpotensi menjadi beban besar, baik bagi pemerintah maupun pihak asuransi. Abdul Karim mengingatkan bahwa  kebijakan yang terlalu idealis tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan akan sulit untuk diimplementasikan.