Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) bukan tanpa tantangan, terutama menjelang Pilkada. Dita menghadapi dilema antara menjaga integritas profesional atau memenuhi tuntutan politis dari atasannya.
Oleh: Edy Basri
MATAHARI pagi mengintip malu-malu dari balik bukit, menyinari ruang kerja sempit yang penuh tumpukan dokumen.
Dalam keheningan, Dita (Sebut saja namanya begitu), terlihat merapikan laporan yang harus diselesaikannya hari itu.
Ia adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di sebuah dinas pemerintahan di pinggiran kota ‘negeri antah berantah‘
Seperti biasa, suasana kantornya sibuk. Namun, akhir-akhir ini ada hal yang membuat dadanya sesak: aroma politik jelang Pilkada 2024 mulai merambah ke sudut-sudut ruang kerja.
“Bu Dita, bisa ke ruangan Pak Kepala sebentar?” panggilan rekan kerjanya membuyarkan konsentrasi.
Dita segera bangkit. Ia tahu, permintaan mendadak seperti ini sering kali bukan kabar baik. Dengan langkah hati-hati, ia menuju ruangan atasannya.
“Dita,” suara Pak Kepala terdengar berat, namun terselip nada tak sabar.
“Kamu tahu Pilkada sudah dekat, kan? Saya butuh kamu untuk bantu tim sukses kandidat ini. Cuma tugas kecil kok, menggalang dukungan dari beberapa tokoh masyarakat.”
Dita terdiam. Detak jam dinding terdengar makin nyaring di telinganya. Kata-kata itu baginya adalah sinyal bahaya.
“Pak, mohon maaf, tapi saya ini ASN. Saya harus netral,” jawabnya pelan, namun tegas.
Pak Kepala mengernyitkan dahi. “Netral? Kamu bercanda? Ini bukan urusan besar, Dita. Kita semua bekerja di sini untuk mendukung kepentingan pemerintah, termasuk kandidat yang kita percayai. Lagipula, kalau kandidat lain yang menang, bisa-bisa program kita terhambat.”
Tinggalkan Balasan