Jakarta Tentrem Sejahtera (JTS) Kemayoran, kawasan kuliner yang menjanjikan keberagaman rasa di jantung ibu kota, kini menyimpan getir di balik aroma rempah.
Oleh: Wahyu Widodo (Biro: Jakarta)
PARA tenant—pelaku UMKM yang menggantungkan asa di sini—merasa langkah mereka terhenti. Tidak oleh sepinya pelanggan, melainkan oleh sesuatu yang lebih abstrak: kurangnya transparansi.
Ayub Faidiban, pria dengan postur tegap dan suara tegas, menjadi corong keresahan. Ketua Paguyuban Tenant JTS sekaligus Ketua Umum Ikatan Keluarga Besar Papua (IKBP) itu menyebutnya “tirai gelap yang menutup pengelolaan.” Dana operasional yang dibayar—mulai dari listrik, kebersihan, hingga keamanan—mengalir, tapi tujuannya entah ke mana. Laporan keuangan, yang menjadi hak tenant, seperti lenyap ditelan birokrasi.
Lampu yang Bisa Padam Kapan Saja
“Bayangkan,” Ayub memulai dengan nada bergetar. “Setiap dua minggu, kami harus keluar Rp15 juta untuk operasional. Tapi, ancaman pemutusan listrik selalu mengintai.”
Pemadaman listrik bagi pengusaha kuliner ibarat mencabut nyawa perlahan. Mesin pendingin berhenti berdengung, bahan makanan membusuk, dan pelanggan pergi. “Kalau ini terus terjadi, kita seperti digiring menuju kebangkrutan,” keluhnya.
Ayub meminta satu hal sederhana: transparansi. “Kami tidak minta yang muluk-muluk. Hanya laporan keuangan yang jelas, komunikasi yang terbuka. Itu saja,” ujarnya. Tapi, sederhana bagi tenant ternyata rumit bagi pengelola.
Pengelola Berkata, Penyewa Bertanya
Febbry, dari Divisi Pengembangan Usaha Pusat Pengelolaan Kompleks Kemayoran (PPKK), punya jawaban prosedural. Ia menyebut ada aturan main yang harus dipatuhi tenant. Mulai dari izin sambungan listrik hingga sanksi administratif jika ada pelanggaran. “Kami tidak bertindak sepihak. Semua sesuai perjanjian sewa,” katanya, diplomatis.
Tapi jawaban itu tak cukup bagi Ayub. Baginya, perjanjian hanya bermakna jika semua pihak berdiri di garis yang sama. “Kami bukan meminta belas kasihan. Ini soal keadilan. Bagaimana usaha kecil bisa bertahan kalau fondasi pengelolaannya rapuh?”
Dapur yang Memanggil Perhatian Pemerintah
Kisah ini akhirnya sampai ke meja pemerintah. Ayub meminta instansi terkait turun tangan. Bukan untuk menghukum, tetapi untuk menjadi mediator. “Kalau tidak ada yang mendengar, ini bukan hanya tentang kami. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi UMKM di Indonesia,” tegasnya.
Di balik drama ini, JTS Kemayoran sesungguhnya memiliki potensi besar. Kawasan ini bisa menjadi oase ekonomi lokal, tempat UMKM tumbuh bersama. Tapi tanpa pengelolaan yang akuntabel, mimpi itu hanya tinggal angan.
Ayub menutup perbincangan dengan harapan. “JTS bisa menjadi contoh. Bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal kepercayaan. Kalau itu ada, kita semua menang.”
Di sudut lain, pengelola kawasan bungkam, hanya menyarankan pihak media untuk menghubungi staf terkait. Respons yang dingin di tengah keresahan yang membara.
Jakarta, seperti biasa, tetap berjalan. Tapi di JTS Kemayoran, para tenant masih berjuang, mencoba menghidupkan dapur di tengah ketidakpastian. Mungkin di sana, suara kecil seperti Ayub perlu lebih banyak didengar, agar transparansi bukan sekadar istilah yang bergema kosong di ruang rapat.(*)
Tinggalkan Balasan