banner 600x50

Di sudut Sulawesi Tenggara, di tengah pepohonan rindang Desa Rante Gola, berdiri sebuah jembatan yang kini menjadi saksi bisu derita warganya.

Penulis: Asman OdeButon Utara

JEMBATAN itu, yang dulu kokoh, kini rapuh. Kayu lantainya lapuk, patah di sana-sini, memaksa siapa saja yang melintasinya berhitung dengan keberanian.

Bayangkan sebuah lintasan yang tidak hanya menghubungkan dua sisi sungai, tapi juga harapan ribuan jiwa. Kini, jalur provinsi yang melintasi jembatan tersebut menjadi arena berbahaya, terutama bagi pengendara roda dua dan roda empat.

Setiap hari, masyarakat desa mempertaruhkan keselamatan mereka di atas papan yang nyaris menyerah pada waktu.

ADVERTORIAL

Advertorial: UNIPOL

“Kami hanya bisa berharap. Jembatan ini nyawa kami, tapi lihatlah kondisinya,” ujar seorang warga setempat dengan nada getir, Rabu (8/1/2025).

Kerusakan ini tidak hanya menghambat mobilitas, tetapi juga menutup akses ke perekonomian, pendidikan, dan kesehatan.

Jeritan warga seakan hanya bergema di udara. Hingga berita ini ditulis, tak ada langkah konkret dari pemerintah provinsi maupun kabupaten.

Upaya konfirmasi ke Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Sulawesi Tenggara pun masih tanpa jawaban.

Namun, jeritan ini bukan hanya tentang papan yang patah atau kayu yang lapuk. Ini adalah kisah tentang janji yang tertunda, sebuah peringatan bahwa infrastruktur adalah urat nadi masyarakat. Tanpa itu, bagaimana roda kehidupan bisa berputar?

Jembatan Rante Gola adalah simbol. Simbol bagaimana wilayah terpencil sering kali terpinggirkan. Sementara proyek-proyek besar bergulir di pusat kota, jembatan ini menanti, setia pada fungsinya meski mulai menyerah pada usia.

Bersambung…