banner 600x50

“Dulu kami bekerja dengan mesin tik dan kamera analog. Sekarang semuanya sudah digital. Bahkan orang awam pun bisa jadi ‘jurnalis’ hanya dengan ponsel mereka,” katanya, sedikit penyindir yang suka mengandalkan Chat GPT saat menulis berita.

Dais menyoroti bahwa meski teknologi telah mempermudah banyak hal, ada nilai-nilai dalam jurnalistik yang mulai terkikis.

“Di masa saya, jurnalis itu benar-benar mendalami kode etik. Kami tidak hanya mencari berita untuk sensasi, tapi untuk mendidik masyarakat.
Sekarang? Banyak berita yang hanya mengejar klik dan viralitas,” ujarnya dengan nada kecewa.

Namun demikian, Dais tetap optimis terhadap generasi muda jurnalis saat ini. Ia percaya bahwa masih ada banyak wartawan muda yang memiliki idealisme tinggi dan semangat untuk mencari kebenaran.

“Tugas kita sebagai senior adalah membimbing mereka agar tidak kehilangan arah,” katanya.

Di akhir perbincangan. Dais memberikan pesan penting bagi para jurnalis muda.

Ia menekankan bahwa menjadi seorang wartawan bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa.

“Jangan pernah lelah mencari kebenaran. Jangan tergoda oleh kemudahan teknologi atau tekanan pasar. Ingatlah bahwa tugas utama jurnalis adalah melayani masyarakat dengan informasi yang akurat dan berimbang,” pesannya.

Meski kini lebih banyak menghabiskan waktu sebagai kepala desa, Dais Labanci tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Perjalanan hidupnya membuktikan bahwa seorang jurnalis sejati tidak pernah benar-benar pensiun dari tugasnya untuk mencari kebenaran dan menyuarakan suara rakyat.

Bersambung…