Makassar, katasulsel.com – Layaknya pintu yang tertutup rapat tanpa alasan, sejumlah jurnalis kembali merasakan getirnya pelarangan liputan. Insiden ini terjadi dalam kegiatan “Workshop Penguatan Kapasitas Pengawas Adhoc (Evaluasi dan Pembuatan Laporan)” yang digelar Bawaslu Pangkep di Hotel Travellers Phinisi, Makassar, 29-31 Januari 2025. Ironis, acara yang dibiayai dari anggaran negara justru menghalangi akses wartawan untuk melaporkan.
Bermula dari itikad baik para jurnalis yang meminta izin, suasana awalnya terlihat ramah. Salah seorang panitia bahkan sempat mengizinkan peliputan dan menjamu mereka dengan makanan. Namun, keramahan itu berubah menjadi penolakan mendadak. Ketua Bawaslu Kabupaten Pangkep, Syamsir Salam, dengan nada kasar menyatakan bahwa acara tersebut sudah diliput media humas Pemkab Pangkep. “Tidak perlu lagi ada media lain,” tegasnya.
Pernyataan ini memicu pertanyaan besar. Bukankah transparansi adalah hak publik? Mengapa akses informasi dibatasi, padahal kegiatan ini menggunakan dana rakyat?
Seorang jurnalis yang hadir mengungkapkan kekecewaannya. “Jika anggarannya dana pribadi, silakan saja. Namun, ini uang publik. Kami punya hak untuk mengetahui dan menyampaikan transparansinya kepada masyarakat,” ujarnya tegas.
Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Sulsel, Zulkifli Thahir, ikut mengecam tindakan tersebut. Ia menyebut pelarangan ini sebagai bentuk penghalangan kebebasan pers dan pelanggaran terhadap tugas pokok jurnalis sebagai kontrol sosial. “Ini bukan soal ada atau tidaknya media humas Pemkab, tapi soal fungsi pers dalam menyampaikan informasi akurat kepada publik,” katanya.
Zulkifli juga menyoroti pentingnya etika dalam berkomunikasi. “Panitia atau institusi harus mendahulukan adab dan etika agar tidak terjadi miskomunikasi. Jangan memandang rendah profesi jurnalis,” tambahnya.
Insiden ini menjadi tamparan bagi lembaga negara yang seharusnya menjunjung keterbukaan. Kebebasan pers adalah pilar demokrasi, bukan sekadar slogan kosong. Jika pintu informasi terus ditutup dengan alasan yang tak jelas, bagaimana publik bisa percaya pada lembaga yang seharusnya melayani mereka?
Zulkifli berharap kejadian serupa tidak terulang. “Mari saling menghargai profesi masing-masing. Jurnalis pun harus tetap memegang teguh kode etik dan menjalankan tugas dengan ikhlas demi menjaga martabat profesi ini,” pungkasnya.
Dalam demokrasi, pers adalah lentera yang menerangi sudut-sudut gelap kekuasaan. Namun, ketika lentera itu dipadamkan, siapa yang akan menjaga terang bagi masyarakat?
Tinggalkan Balasan