banner 600x50

Enrekang, Katasulsel.com — Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, kembali dikejutkan oleh kasus tragis yang melibatkan seorang pria berinisial NR (41), yang tega menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri, RK (90).

Peristiwa ini terjadi pada Rabu (29/1) malam di Perumahan Griya Mata Dewa, Kelurahan Juppandang, Kecamatan Enrekang. Insiden ini menjadi sorotan karena pelaku diketahui memiliki riwayat gangguan jiwa atau dikenal sebagai Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ).

Kapolres Enrekang, AKBP Dedi Surya Dharma, mengungkapkan bahwa NR bukanlah orang asing dalam dunia kriminal.

Sebelumnya, ia pernah melakukan tindak pidana serupa dengan menghabisi nyawa pamannya sendiri.

“Pelaku sudah pernah melakukan pidana yang sama dan sempat ditahan di rutan,” ujar Dedi pada Sabtu (1/2/2025). Namun, setelah kejadian tersebut, pelaku dirujuk ke Rumah Sakit Dadi Makassar untuk mendapatkan perawatan medis terkait kondisi kejiwaannya.

Kasus ini memunculkan kembali diskusi tentang hubungan antara gangguan mental dan tindakan kekerasan.

Berdasarkan catatan medis dari RS Dadi Makassar, NR memiliki riwayat penyakit mental yang signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana pengawasan terhadap individu dengan kondisi serupa dilakukan setelah mereka kembali ke masyarakat.

Kasat Reskrim Polres Enrekang, Iptu Herman, membenarkan bahwa NR sebelumnya pernah membunuh pamannya.

Namun, pihak kepolisian masih mendalami kronologi dan motif di balik kedua kasus pembunuhan ini. “Kami masih mengumpulkan keterangan dari hasil pemeriksaan pelaku dan saksi-saksi,” jelas Herman.

Dalam kasus terbaru ini, dugaan sementara menyebutkan bahwa NR sakit hati terhadap ibunya karena sering dimarahi.

Konflik kecil dalam keluarga yang tidak terselesaikan akhirnya memuncak menjadi tragedi besar. Korban pertama kali ditemukan oleh anaknya yang juga merupakan saudara kandung pelaku.

Kasus NR menyoroti pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental, terutama bagi individu yang memiliki riwayat tindakan kekerasan.
Dalam dunia psikologi forensik, dikenal istilah recidivism atau pengulangan tindak kejahatan oleh pelaku yang sama.

Hal ini sering terjadi pada individu dengan gangguan mental, terutama jika mereka tidak mendapatkan pengawasan dan terapi yang memadai.

Selain itu, insiden ini juga menjadi pengingat bahwa konflik internal dalam keluarga dapat menjadi pemicu utama tindakan kekerasan jika tidak dikelola dengan baik.

Pendekatan multidisiplin yang melibatkan psikolog, psikiater, dan aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk mencegah kasus serupa terulang kembali.

Kasus tragis ini seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya dukungan kesehatan mental dan pengelolaan konflik keluarga secara bijaksana.

Tragedi seperti ini tidak hanya meninggalkan luka bagi keluarga korban, tetapi juga menjadi peringatan bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap individu dengan gangguan jiwa di sekitar kita.(*)