banner 600x50

Jakarta, Katasulsel.com — Gedung Dewan Pers di Kebon Sirih, Jakarta, siang itu tak lagi senyap. Suara-suara lantang menyeruak, memecah keheningan.
Seperti angin badai yang membawa debu ke segala penjuru, aksi damai Forum Pers Independent Indonesia (FPII) hari itu menciptakan gelombang yang tak bisa diabaikan.

“Hey Ketua Dewan Pers, keluar kalau berani!” teriak Dra. Kasihhati, Ketua Presidium FPII, dengan suara yang menggema. Ia berdiri di depan massa, memimpin orasi dengan penuh semangat.

Wajahnya tegas, matanya tajam menatap gedung yang dianggapnya telah mengkhianati amanah. Seperti seorang ibu yang marah karena anaknya tak lagi mendengar, ia tak segan menghardik.

Kasihhati, yang akrab disapa “Bunda,” tak hanya berbicara tentang pengkhianatan terhadap UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Ia juga menyinggung soal aset negara di kantor Dewan Pers yang, menurutnya, disewakan secara tidak bertanggung jawab. “Ini tindakan kriminal!” tegasnya, membuat massa kembali bersorak.

Namun, bukan hanya itu. Ia mengkritisi aturan-aturan Dewan Pers yang dianggapnya dibuat “semau udel.” Aturan-aturan yang, dalam pandangannya, telah merusak tatanan pers di Indonesia.

“Dewan Pers tidak bisa menjadi orang tua yang baik dan adil bagi insan pers. Mereka diskriminatif, bahkan doyan melakukan kriminalisasi terhadap wartawan,” lanjutnya.

Di sisi lain, Irfan Denny Pontoh, Sekretaris Nasional FPII, menambahkan api ke dalam bara. Ia berbicara tentang bagaimana Dewan Pers telah kehilangan marwahnya. “Seharusnya mereka melindungi insan pers dan menjaga kemerdekaan pers. Tapi apa yang terjadi? Semua itu hanya mimpi!” tukasnya dengan nada getir.

Irfan bahkan berbagi pengalaman pribadinya sebagai korban kriminalisasi. Hampir dua tahun ia menjadi tersangka karena keputusan Dewan Pers dan kesaksian ahlinya. “Ini bukan hanya tentang saya. Ini tentang banyak wartawan lain yang mengalami hal serupa,” ungkapnya dengan suara bergetar.

Tak berhenti di gedung Dewan Pers, massa FPII juga bergerak ke Kementerian Komunikasi dan Digital. Mereka mendesak agar proses seleksi anggota Dewan Pers yang sedang berlangsung dihentikan. “Anggaran miliaran rupiah setiap tahun untuk Dewan Pers ini tidak sebanding dengan kinerja mereka,” ujar Irfan lagi.

Aksi ini bukan sekadar teriakan di jalanan. Ini adalah refleksi dari keresahan mendalam yang dirasakan oleh sebagian insan pers di Indonesia. Dewan Pers, yang seharusnya menjadi pelindung dan penjaga kemerdekaan pers, kini berada di ujung tanduk. Kritik tajam terus menghujani mereka.

Dan seperti badai yang datang tiba-tiba, aksi ini mungkin akan berlalu. Tapi debu-debu keresahan yang ditinggalkan tak akan mudah hilang. Pertanyaannya kini: apakah Dewan Pers akan berubah? Atau justru semakin terperosok dalam jurang ketidakpercayaan? Kita tunggu saja babak selanjutnya. (risal/sidrap/*)