Example 650x100

Soppeng, Katasulsel.com — Seperti benang kusut yang mulai terurai, dana bergulir untuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) di Kabupaten Soppeng kini menjadi sorotan.

Sebanyak 71 Gapoktan sedang menjalani pemeriksaan terkait pengelolaan dana sebesar Rp 100 juta per kelompok, yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2009/2010.

Dana yang seharusnya berputar seperti roda kesejahteraan bagi petani kini malah tersendat, bahkan ada yang lenyap jejaknya.

Example 300x500

Kasat Reskrim Polres Soppeng, Iptu Nurman Matasa SH MH, membenarkan bahwa pihaknya tengah melakukan penyelidikan mendalam terkait dugaan penyimpangan dana ini.

“Kami sedang dalam proses lidik, ke-71 Gapoktan ini sedang dimintai keterangan terkait pengelolaan dana bergulir sebesar Rp 100 juta per Gapoktan yang sumber dananya berasal dari APBN,” ungkapnya pada Rabu (26/02/2025).

Data awal yang dihimpun menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan. Beberapa di antara Gapoktan tersebut diduga tidak pernah menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT), bahkan sudah tidak lagi beraktivitas.

Laksana ladang yang tak lagi digarap, dana yang seharusnya menjadi pupuk bagi pertanian justru menguap entah ke mana.

Seorang sumber yang memahami fungsi dana bergulir Gapoktan menjelaskan bahwa dana tersebut seharusnya menjadi penopang utama keberlanjutan usaha petani. “Dana bergulir ini tidak boleh habis.

Ia harus digunakan secara berkelanjutan dan dikembalikan agar bisa terus dimanfaatkan oleh petani lainnya,” ujarnya.

Secara teori, dana bergulir ibarat sungai yang mengalir deras, memberi kehidupan bagi sawah dan ladang di sekitarnya. Namun, jika alirannya tersumbat atau dialihkan ke saluran yang salah, dampaknya jelas: lahan kering kerontang, petani merugi, dan kesejahteraan yang diidamkan tinggal angan.

Sayangnya, realitas di lapangan berbicara lain. Jika benar sebagian besar dari 71 Gapoktan ini tidak menjalankan kewajibannya, maka ada dua kemungkinan: dana itu berhenti berputar atau malah menguap ke pihak yang tak seharusnya.

Dana bergulir seharusnya bersifat regeneratif. Namun, dalam banyak kasus, sistem ini kerap berubah menjadi jebakan. Tanpa transparansi dan pengawasan yang ketat, dana yang seharusnya berfungsi sebagai penggerak ekonomi justru bisa berubah menjadi beban yang menyeret petani ke jurang ketidakpastian.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh Polres Soppeng bisa menjadi awal dari upaya membongkar permasalahan ini. Apakah ada unsur kesengajaan? Apakah dana tersebut dialihkan ke pihak lain? Ataukah sistem administrasi yang buruk menjadi penyebab utama stagnasi dana tersebut?

Petani di Soppeng tentu menanti jawaban. Mereka adalah pihak yang paling terdampak dari kebijakan ini.

Jika dana ini benar-benar disalahgunakan, maka harapan mereka untuk mendapatkan dukungan dalam usaha pertanian semakin menipis.

Di sisi lain, jika penyelidikan ini berujung pada perbaikan sistem, maka ada secercah harapan bahwa dana bergulir akan kembali menjadi tumpuan bagi petani, bukan sekadar angka dalam laporan yang tak pernah berujung nyata.

Ladang-ladang butuh kepastian. Rantai yang terputus harus disambung kembali. Dan dana yang seharusnya bergulir, sudah saatnya kembali ke jalurnya.(*)