
Wajo, katasulsel.com — Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, kembali mencatat sejarah! Kali ini bukan hanya sebagai Kota Wakaf, tetapi juga sebagai pionir dalam kampanye wakaf hutan, sebuah gerakan konservasi berbasis filantropi Islam. Roadshow Ramadhan bertajuk “Wakaf Hutan untuk Masa Depan” yang digagas oleh Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) bersama Yayasan Hutan Wakaf Bogor resmi dimulai dari bumi Lamaddukkelleng ini, Kamis (6/3/2025).
Gerakan ini bukan sekadar seremonial hijau-hijauan, melainkan ikhtiar serius memanfaatkan instrumen wakaf sebagai sumber pendanaan konservasi lingkungan. Konsepnya simpel tapi visioner: dana wakaf yang terkumpul bakal digunakan untuk menjaga kelestarian hutan, memastikan masyarakat sekitar merasakan manfaat ekologis dan ekonomi yang berkelanjutan.
Acara ini dihadiri berbagai elemen penting, mulai dari Kementerian Agama, pemerintah daerah, akademisi, pengelola wakaf, hingga tokoh masyarakat. Kepala Kantor Kemenag Kanwil Wajo, Muhammad Subhan, menegaskan bahwa dalam menghadapi krisis iklim, Kemenag tidak hanya berdiam diri. “Kami sudah bergerak dengan program Ekoteologi, yang diterjemahkan dalam aksi nyata seperti Kemenag Go Green. Artinya, penghijauan harus menjadi bagian dari budaya,” tegasnya.

Tak main-main, di Sulsel, gerakan ini sudah merambah ke KUA dan madrasah dengan mengoptimalkan lahan-lahan produktif untuk ditanami pohon. “Wajo ini subur, amanah ini harus kita kawal dengan sungguh-sungguh,” tambah Subhan.
Asisten Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat Setda Wajo, Ir. Andi Musdalifah, M.Si., juga menekankan bahwa skema wakaf hutan adalah solusi inovatif bagi keseimbangan ekologi dan kesejahteraan masyarakat. “Wakaf hutan ini bukan cuma soal lingkungan, tapi juga ekonomi dan pendidikan. Jika dijalankan dengan baik, ini bisa menjadi model nasional,” ungkapnya.
Akademisi IPB University sekaligus Ketua Yayasan Hutan Wakaf Bogor, Dr. Khalifah Muhamad Ali, menyindir kebiasaan umum dalam pengelolaan wakaf yang masih sebatas 3M (Masjid, Makam, Madrasah). “Padahal, potensi wakaf jauh lebih luas. Hutan wakaf bisa menjadi sumber pemberdayaan, mengingat jutaan rakyat miskin hidup di sekitar kawasan hutan. Ini waktunya kita ubah mindset!” serunya.
Langkah konkret sudah mulai dirintis. Salah satu diskusi utama dalam pertemuan ini adalah rencana pengelolaan hutan wakaf di Desa Mario seluas 1,5 hektar yang akan diperluas menjadi lima hektar. Jika sukses, skema ini bisa direplikasi ke daerah lain.
Sebagai satu dari enam Kota Wakaf di Indonesia, Wajo punya tanggung jawab besar untuk membuktikan bahwa konsep ini bisa berjalan. Perlu ada sinergi antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, hingga media agar pengelolaan wakaf hutan bisa berkelanjutan dan tidak sekadar wacana.
“Kita harus tunjukkan bahwa Wajo bukan sekadar nama di peta wakaf nasional, tapi benar-benar jadi percontohan yang layak dilirik,” pungkas Subhan.
Wajo sudah selangkah di depan. Kini, tinggal memastikan semua pihak bergerak bersama, agar Kota Wakaf ini benar-benar menjadi pelopor dalam revolusi hijau berbasis wakaf. Gaspol atau tinggal kenangan? (*)