
Wajo, katasulsel.com — Pasar Sentral Sengkang, Wajo, jantung perdagangan di “Kota Sutra”, kembali hidup.
Dari pagi buta hingga malam tiba, suara langkah kaki bercampur riuh tawar-menawar memenuhi udara.
Warga dari daerah tetangga, seperti; Sidrap, Enrekang, Soppeng, hingga Bone berbondong-bondong datang. Ini bukan sekadar tradisi, ini ritual tahunan jelang lebaran.
Pasar ini memang seperti magnet. Ada sesuatu yang membuatnya selalu dirindukan.
Mungkin karena kehangatan interaksi di antara para pedagang dan pembeli. Atau mungkin karena aroma khas kue-kue tradisional yang menyeruak dari lapak-lapak kecil. Siapa yang tahu pasti?

Siti, seorang ibu rumah tangga dari Sidrap, sudah tiga tahun berturut-turut datang ke sini jelang lebaran.
“Baju di sini modelnya bagus-bagus, harganya juga lebih murah dibanding di tempat lain,” katanya sambil memegang kain sutra berwarna biru muda.
Ia bercerita, setiap kali ke Sengkang, ia selalu membeli kain sutra untuk dijahit menjadi baju baru bagi keluarganya.
“Kalau bukan lebaran, kapan lagi pakai yang spesial,” tambahnya dengan senyum tipis.
Di sudut lain pasar, seorang pedagang kue bernama Pak Basri sibuk melayani pembeli.
“Ini memang musim panen rezeki bagi kami,” ujarnya sambil membungkuskan kue kering untuk seorang pelanggan.
Ia mengaku, omzetnya bisa naik tiga kali lipat dibanding hari-hari biasa. “Orang-orang suka beli dalam jumlah banyak untuk suguhan tamu saat lebaran,” jelasnya.
Namun, di balik keramaian ini, ada cerita lain. Bagi sebagian pedagang, momen ini juga menjadi peluang untuk memperkenalkan produk-produk lokal khas Wajo.
Misalnya saja tenun sutra Sengkang yang sudah terkenal hingga ke luar daerah.
“Kami ingin orang-orang tahu bahwa Sengkang bukan cuma tempat belanja, tapi juga pusat budaya,” kata Ibu Nurhayati, seorang pengrajin kain tenun.
Ada yang menarik dari pasar ini. Ia tak sekadar tempat transaksi, tapi juga ruang sosial.
Orang-orang bertemu, berbincang, saling bertukar kabar. Seperti sebuah panggung besar di mana setiap orang memainkan perannya masing-masing.
Pedagang dengan sapaan ramahnya, pembeli dengan antusiasme mereka.
Dan meski panas terik sering kali menyengat kulit, tak satu pun tampak mengeluh.
Semua sibuk dengan urusan masing-masing, seakan waktu berjalan lebih cepat di sini.
Pasar Sentral Sengkang bukan hanya tentang barang dagangan. Ia adalah cerminan semangat masyarakatnya.
Sebuah tempat di mana tradisi dan modernitas bertemu, di mana lebaran bukan sekadar perayaan, tapi juga pengingat akan pentingnya kebersamaan.
Jelang hari raya, pasar ini menjadi saksi betapa hidup bisa begitu sederhana namun penuh makna.
Di balik hiruk-pikuknya, ada cerita-cerita kecil yang menyentuh hati. Dan mungkin itulah yang membuat Pasar Sentral Sengkang tak pernah kehilangan pesonanya.(*)
Tinggalkan Balasan