
Lampung Timur, katasulsel.com – Lagi-lagi, keadilan diuji dengan kalkulator keluarga.
Seorang terduga pelaku pelecehan seksual terhadap anak di Kecamatan Batanghari Nuban, Lampung Timur, akhirnya ditangkap oleh satuan Resmob Polres Lampung Timur pada 28 Maret 2025.
Namun, alih-alih membiarkan hukum bekerja, angin damai mendadak berhembus di antara keluarga korban dan pelaku. Apakah ini bentuk restorative justice atau justru barter kebebasan?
Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung Timur, Azoheri, mengaku geram. Pasalnya, orang tua korban sebelumnya datang ke kantor IWO, mengadu dan meminta dukungan agar pelaku segera ditangkap.
[related berdasarkan="tag" jumlah="3" judul="Baca Juga:" mulaipos="0"]Kini, setelah pelaku ditangkap, malah muncul negosiasi damai yang ujung-ujungnya bisa membuat pelaku melenggang bebas.

“Kalau sampai pelaku lepas dari jeratan hukum, ini preseden buruk! Bicara soal pelecehan terhadap anak, kita masuk ke ranah lex specialis. Perdamaian boleh, tapi hukum tetap harus berjalan,” tegas Azoheri.
Ia mengingatkan bahwa Polres Lampung Timur harus profesional dalam menangani kasus seperti ini. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.
Sementara itu, ibu korban menyampaikan keluhan yang lebih mengejutkan.
“Mereka (keluarga pelaku) datang bawa surat, suruh tanda tangan, tapi kami tidak boleh baca isinya,” ungkapnya.
Sungguh ironis, negosiasi damai model apa ini? Apakah ini kesepakatan atau pemaksaan terselubung?
Yang lebih memilukan, korban sendiri, yang notabene menjadi pihak utama dalam kasus ini, justru merasa disisihkan. Lewat pesan WhatsApp kepada media, ia mengungkapkan kekecewaannya.
“Sakit hati. Mereka berdamai tanpa melibatkan saya. Mereka hanya pikirin perasaan mereka aja. Mau memberontak gimana? Tetap aja kalah,” tulisnya.
Sebagai informasi, kasus ini bukan cerita baru. Laporan sudah masuk ke Polres Lampung Timur sejak dua tahun lalu.
Butuh dua tahun untuk menangkap pelaku, lalu sekarang muncul kabar damai begitu saja?
Jika benar ini terjadi, maka kita patut bertanya: apakah hukum masih menjadi panglima atau sekadar alat tawar-menawar di meja keluarga?
Yang pasti, nemo est supra leges—tak ada yang lebih tinggi dari hukum. Jika kasus ini ditutup begitu saja, bukan hanya korban yang kalah, tapi juga wajah keadilan itu sendiri.(*)
Tinggalkan Balasan