Example 650x100

Sidrap, Katasulsel.com — Malam mulai turun, udara Desa Botto di Kecamatan Pitu Riase terasa lembut—seperti menyambut langkah orang penting yang datang bukan sekadar bertamu, tapi pulang.

Di Taman Kantor Desa itu, Jumat malam, 4 April 2025, suasana halalbihalal Kerukunan Keluarga Pelajar Mahasiswa Bila Raya (KKPMBR) mendadak jadi hangat—tak hanya karena sambutan masyarakat, tapi karena satu nama: H. Syaharuddin Alrif.

Ia datang bukan sebagai pejabat yang duduk di kursi empuk, tapi sebagai anak kampung yang pulang membawa tanggung jawab negara.

Mikrofon pun berpindah tangan. Dalam nada yang bersahaja tapi mantap, Syahar membuka sambutan dengan ucapan selamat Idulfitri.

Sederhana, tapi penuh energi afektif. Lalu tanpa banyak basa-basi, ia bicara jujur dan blak-blakan: jabatannya sebagai Bupati Sidrap tak akan mengubah cara ia berdiri di tengah masyarakat.

Example 970x970

“Tetap seperti dulu, anak desa. Yang berubah bukan saya, tapi manfaat yang harus saya bawa untuk rakyat,” ucapnya.

Kalimat itu mungkin terdengar klise, tapi diucapkan dengan rasa—dan didengar dengan harapan.

Sudah satu bulan lebih Syahar memegang kendali, sejak dilantik di Istana Negara pada 20 Februari lalu.

Waktu yang sangat pendek dalam siklus birokrasi, tapi cukup untuk menyalakan motor perubahan.

Dari 14 program unggulan yang ia janjikan semasa kampanye, 10 di antaranya sudah bergerak.

Kalau dikalkulasikan pakai logika manajemen pembangunan, itu artinya 71,4 persen dari visi politiknya mulai menampakkan bentuk dalam peta riil pelayanan publik. Bukan hanya narasi, tapi aksi.

BPJS gratis? Sudah aktif untuk 82 persen warga. Artinya, sekitar 205 ribu jiwa Sidrap kini terlindungi secara universal dalam skema jaminan kesehatan. Sisanya—sekitar 30 ribu orang—masih dalam proses pencocokan data.

Ini bukan angka, tapi wajah-wajah yang tak lagi harus menunggu sakit jadi kronis baru ke rumah sakit. Ini adalah kebijakan berbasis asas keadilan distributif dan prinsip efisiensi fiskal.

Lalu soal pertanian. Bagi Sidrap, ini bukan cuma urusan cangkul dan pupuk. Ini adalah tulang punggung ekonomi lokal dan fondasi ketahanan pangan nasional.

Distribusi pupuk yang lancar disebut Syahar telah menghasilkan peningkatan produktivitas.

Korelasi ini bukan sekadar klaim, tapi bisa dibuktikan lewat data: indeks hasil panen dan stabilitas harga gabah di pasar menunjukkan grafik yang naik.

Empat program lagi? Masih di dapur perencanaan. Tapi cetak birunya sudah ada: Program Jalan Mulus yang akan mulai digarap April hingga Juni, dengan titik fokus di Dua Pitue, Pitu Riase, dan Pitu Riawa.

Dalam logika infrastruktur, ini adalah investasi jangka panjang. Jalan bukan sekadar aspal dan batu, tapi jalur distribusi, akses pendidikan, dan mobilitas sosial.

Syahar menyebut akan bolak-balik ke Jakarta demi mengunci anggaran. Sebuah aksi yang menggambarkan model kepemimpinan participatory lobbying di level pusat.

Di luar sektor teknis, Syahar juga memperkenalkan hal-hal yang terdengar religius tapi sebenarnya punya dimensi sosial yang dalam.

Program Sidrap Berkah—gerakan salat magrib berjemaah dan pengajian malam Jumat—bukan cuma program keagamaan, tapi instrumen social cohesion.

Begitu pula Sidrap Bercahaya yang mengupayakan penerangan jalan, dan Sidrap Bersih yang membangkitkan budaya gotong royong di pagi Jumat. Ini bukan sekadar kegiatan, tapi rekayasa sosial menuju masyarakat yang kohesif, aman, dan berdaya.

Semua ini, kata Syahar, kalau berjalan baik, Sidrap akan berubah. Jadi lumbung beras nasional, lumbung telur, pusat para penghafal Al-Qur’an, hingga episentrum energi terbarukan.

Pernyataan ini bukan utopia. Dalam studi proyeksi demografi dan sumber daya, daerah seperti Sidrap memang punya peluang tumbuh jika difasilitasi dengan kebijakan yang tepat sasaran.

Ketua Panitia, Jumardin, yang juga menjabat Kepala Desa Botto, tampil merendah dalam sambutannya. Ia minta maaf jika ada kekurangan dalam pelaksanaan kegiatan, tapi semangat warganya luar biasa besar.

Mungkin inilah yang disebut sebagai capital sosial dalam teori pembangunan partisipatif: masyarakat bukan hanya objek, tapi subjek dari perubahan.

Hadir juga para tokoh pemerintahan: Penjabat Sekda Andi Rahmat Saleh, para asisten Bupati, kepala OPD, camat, kapolsek, kepala desa se-Kecamatan Pitu Riase, dan tentu saja—warga yang datang bukan hanya menonton, tapi menyimak, mencatat, dan mungkin, menyimpan harapan.

Di tengah sorotan lampu taman dan suara jangkrik di sela-sela hening malam, halalbihalal itu tak hanya menjadi ajang silaturahmi.

Ia berubah jadi ruang konfirmasi: bahwa Sidrap kini punya nahkoda yang paham arah. Dan rakyatnya, tak lagi sekadar menunggu kapal lewat—tapi siap ikut mendayung bersama.(*)