
Kalau bicara Sidrap, jangan lagi cuma ingat soal nasu pelekko itik, atau kincir angin raksasanya saja ya. Sekali-kali ingat, Sidrap saat ini wilayah agraris dengan daya dobrak nasional broo…
Laporan: Edy Basri (Pemred Katasulsel.com)
DALAM konteks bioekonomi dan swasembada pangan, Kabupaten Sidenreng Rappang atau disingkat Sidrap, justru jadi laboratorium lapangan yang diam-diam sedang ‘naik kelas’.
Konon, besok itu, Senin, 7 April 2025, ada panen raya padi nasional yang dipusatkan di Majalengka. Terus, Sidrap masuk agenda di dalamnya. Jelas, ini sinyal bahwa Sidrap sedang “redefinisi” perannya di peta pangan Indonesia.
Program pompanisasi yang jadi ikon transformasi agrikultur di Sidrap, secara teknis adalah penerapan prinsip dasar dari ilmu hidrologi dan agronomi.

Dalam terminologi ilmiah, ini berurusan langsung dengan peningkatan indeks pertanaman (IP)—sebuah parameter vital yang menentukan seberapa sering tanah bisa ditanami dalam setahun.
Sebelumnya IP-nya mungkin stagnan di angka 100 (sekali tanam setahun), kini bisa melonjak jadi 200-300. Secara ekonomi, ini multiplier effect; secara sosial, ini semacam revolusi kecil di sawah.
Dr. Amin Nur dari Balai Pengujian Standar Instrumen Tanaman Serelia, Kementan RI, terang-terangan bilang, ini bukan proyek karbitan.
Sejak 2024, langkah-langkah strategis digodok matang. Pompa bukan sekadar alat, tapi simbol transisi.
Sidrap diguyur lebih dari 1.000 unit pompa, dan hasilnya mulai nyata. Petani tidak lagi menggantungkan harapan pada musim hujan.
Mereka beradaptasi, mirip prinsip biomimetika—di mana makhluk hidup menyesuaikan diri secara elegan dengan lingkungannya. Kini petani Sidrap juga begitu: adaptif, resilien, dan produktif.
Tapi cerita tak berhenti di pompa ya. Program optimalisasi lahan rawa jadi episode lanjutannya.
Dengan jatah 4.050 hektar, Sidrap membuktikan bahwa lahan tidur bisa dibangunkan. Konsepnya simpel tapi strategis: ubah lahan yang dulu dianggap problematis jadi potensi.
Bahkan, dibentuk pula Brigade Pangan, semacam task force berbasis komunitas. Ada 21 brigade yang masing-masing mengelola 200 hektar.
Ini pendekatan semi-militeristik tapi partisipatif—di mana efisiensi bertemu gotong royong.
Lalu ada lahan kering, yang secara hidro-edafik dianggap lebih menantang. Tapi Sidrap enggan menyerah.
Bersambung…
Tinggalkan Balasan