
“Kalau keamanan pangan goyah, keamanan sosial bisa retak,” kata Fantry, pendek, tapi sarat makna.
Pompanisasi dan Ilmu di Baliknya
Di balik panen raya ini ada proyek besar yang diam-diam mulai merevolusi wajah pertanian: pompanisasi berbasis data spasial.
Tidak ada yang instan. Penempatan pompa bukan sembarangan. Ada dasar ilmiah: peta kontur, akuifer dangkal, curah hujan lokal, bahkan prediksi debit sungai berbasis remote sensing. Semuanya dianalisis.
Ini bukan irigasi konvensional. Ini rekayasa hidrologi mikro. Teknokrat turun. Petani dilatih. Dan Polres jadi pengawal logistiknya.
Distribusi pupuk diawasi, penyaluran alat pertanian dikawal. Bahkan, penyuluhan dilengkapi sesi hukum. Hukum agraria. Hukum perlindungan petani. Edukasi anti-mafia pupuk.

Forum Tak Biasa: Dari Pos Kamling ke Pos Tani
Polres Sidrap membentuk kanal komunikasi yang tak umum: forum informal antara penyuluh, Babinkamtibmas, dan kelompok tani. Hasilnya? Reduksi konflik agraria secara drastis.
Fantry menjelaskan, pendekatannya adalah preventive structural strategy, yakni mencegah konflik sejak hulu, bukan hanya menindak saat hilir.
Dalam istilah sosiologi agraria, polisi bukan lagi entitas eksternal, tapi aktor simbiotik dalam ekosistem pertanian.
Brigade Pangan: Semi-Militeristik, Tapi Gotong Royong
Ada eksperimen sosial yang patut dicatat: Brigade Pangan. Sebuah komunitas petani dengan disiplin organisasi tinggi. Mereka bekerja dengan SOP mirip barisan komando, tapi tanpa pangkat. Ada rotasi tugas. Ada pembagian peran.
Dan kehadiran polisi di sini menjadi semacam civilian stabilizer. Mereka tidak mendikte, tapi mendampingi. Disiplin tanpa intimidasi.
“Kami butuh dukungan semua pihak. Polres paham betul dinamika lapangan,” ungkap Kadis Pertanian Sidrap, Fajri Salman.
Bersambung…
Tinggalkan Balasan