
Katasulsel.com, Batam — Di tengah geliat aktivitas pelabuhan dan bandara, sebuah langkah tegas dan senyap dilakukan negara untuk melindungi warisan biologisnya. Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Kepulauan Riau (Karantina Kepri), unit teknis di bawah Badan Karantina Indonesia (Barantin), kembali melakukan tindakan pemusnahan terhadap komoditas berisiko tinggi yang masuk tanpa dokumen resmi dari daerah maupun negara asal.
Sebanyak 60,44 kilogram komoditas campuran terdiri dari produk hewan, ikan, dan tumbuhan, serta 496 ekor burung pipit, dimusnahkan pada Selasa, 9 April 2025, di fasilitas Incinerator Karantina Kepri, Sei Temiang. Barang-barang tersebut merupakan hasil sitaan dari jalur masuk udara dan laut, sebagian besar berasal dari Malaysia dan Kuala Tungkal, Jambi.
Kepala Karantina Kepri, Herwintarti, menjelaskan bahwa seluruh komoditas tersebut tidak dilengkapi dengan Sertifikat Kesehatan Hewan (SKH), Health Certificate (HC), ataupun dokumen karantina tumbuhan sebagaimana diwajibkan oleh regulasi nasional maupun internasional. Ketidakterpenuhan dokumen ini menjadikan komoditas tersebut sebagai media pembawa potensial bagi Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK), Hama Penyakit Ikan Karantina (HPIK), dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK).
“Setiap barang hidup atau olahan hasil biologis yang keluar masuk wilayah negara wajib memiliki jaminan status kesehatan. Tanpa itu, risiko yang dihadirkan bisa menjadi bencana ekologi jangka panjang,” tegas Herwintarti.
Burung pipit yang dimusnahkan, misalnya, bisa menjadi vektor alami virus avian seperti Avian Influenza atau Newcastle Disease. Sementara produk ikan beku dan segar tanpa pengujian bisa membawa parasit Anisakis atau bakteri Vibrio spp. Adapun bahan tanaman ilegal berisiko tinggi mengangkut telur serangga invasif, spora jamur patogen, hingga nematoda tanah yang sulit dikendalikan.

Menurut Herwintarti, pemusnahan dilakukan sebagai mitigasi risiko biosekuriti. Proses ini bukan sekadar penegakan hukum, tetapi bagian dari sistem pertahanan negara terhadap ancaman biologis lintas batas. Kepri, sebagai wilayah perbatasan yang berdekatan langsung dengan Malaysia dan Singapura, serta jalur distribusi utama dari Pulau Sumatera, disebutnya sebagai hotspot bioinfiltrasi, yakni daerah rawan penyelundupan komoditas yang wajib diperiksa karantina.
Karena itulah, pengawasan dilakukan secara ketat dan terpadu. Di pelabuhan, bandara, terminal feri, dan gudang logistik, petugas Karantina bersiaga bersama entitas lain seperti TNI, Polri, Bea Cukai, dan otoritas pelabuhan. Sinergi ini dilakukan untuk menjalankan prinsip CIQP (Customs, Immigration, Quarantine, and Port Security) yang menjadi standar global dalam pengamanan lintas batas negara.
“Setiap komoditas tak berdokumen adalah ancaman diam-diam. Maka, sinergi pengawasan adalah bentuk tanggung jawab kolektif kita untuk memastikan keanekaragaman hayati Indonesia tetap terjaga,” imbuhnya.
Tak berhenti di pengawasan, Karantina Kepri juga terus menggalakkan sosialisasi kepada masyarakat, pedagang, eksportir, hingga penumpang biasa agar memahami pentingnya prosedur perkarantinaan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 menjadi landasan hukum utama yang mengatur mekanisme ini. Setiap individu atau badan usaha yang hendak mengirim atau menerima komoditas hewan, ikan, dan tumbuhan wajib melapor kepada pejabat karantina terlebih dahulu.
Herwintarti mengajak masyarakat untuk menjadi bagian dari gerakan sadar karantina. Ia menyebut bahwa ketahanan hayati nasional bukan hanya tugas negara, tapi juga rakyat. Setiap langkah kecil seperti melapor atau tidak membawa barang ilegal bisa menyelamatkan ekosistem, pertanian, perikanan, dan industri pangan nasional dari kerugian miliaran rupiah akibat wabah penyakit atau gangguan hama.
Turut hadir dalam pemusnahan ini perwakilan dari PT BIB, Bea Cukai TMP B Batam, Polsek Kawasan Bandara Hang Nadim, serta tokoh masyarakat setempat. Pemusnahan dilakukan secara terbuka untuk menegaskan bahwa tindakan ini adalah bentuk keterbukaan pemerintah dalam menjalankan fungsi perlindungan sumber daya alam secara transparan dan bertanggung jawab.
Negara hadir, diam-diam namun pasti, dalam api yang membakar ancaman itu. Dan di Batam, api itu menyala demi masa depan yang lebih bersih, lebih aman, dan lebih sehat secara biologis. (*)
Tinggalkan Balasan