
Kolaka Utara — A. Muhammad Riski Malik, santri muda dari Ponpes Al-Islam Meeto, Kolaka Utara, dilarikan ke RS Djafar Harun.
Tubuhnya mengalami luka bakar serius. Bukan karena kecelakaan, tapi diduga akibat ulah senior. Ada dugaan, pembakaran itu bagian dari bullying.
Perundungan yang melampaui batas, hingga tubuh terbakar dalam arti sesungguhnya.
Menurut akun Facebook Ilmu Tani, kejadian berlangsung Jumat pagi, 11 April 2025. Pelaku adalah santri senior. Korban, santri baru.
Korban alami luka bakar derajat dua hingga tiga. Dalam ilmu kedokteran disebut partial thickness dan full thickness burn. Jaringan kulit mengelupas, saraf terbuka.

Tubuh korban kini dalam fase inflammatory response. Kondisi di mana sistem imun bekerja ekstra, tapi lemah karena syok termal.
Kasus ini viral usai akun Ilmu Tani memposting kondisi korban. Dalam narasi emosional, akun itu menyebut tragedi ini sebagai “perlakuan keji dan tidak manusiawi”.
Selain luka fisik, korban diperkirakan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Efek dari kekerasan terstruktur yang dilakukan dalam sistem senioritas.
Keluarga kecewa. Mereka tuntut investigasi. Polres Kolaka Utara diminta ambil tindakan. Kemenag pun turut diminta evaluasi yayasan pesantren.
Dalam perspektif hukum, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berat. Bisa masuk unsur penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari kepolisian. Tapi laporan ke Polres sudah dilakukan.
Kekerasan di lembaga pendidikan, apalagi pesantren, adalah paradoks. Tempat pencetak akhlak justru jadi arena kekerasan laten.
Tragedi ini harus menjadi momen evaluasi. Bukan hanya bagi Ponpes Al-Islam Meeto, tapi juga seluruh pesantren di Indonesia. (*)
Tinggalkan Balasan