
Sabtu pagi di Sidrap, hujan tak turun dari langit, tapi dari langit-langit harapan. Berkah datang bertubi-tubi—Bupati pulang bawa mangga, warga pulang bawa kunci rumah.
Laporan: Edy Basri
MATAHARI belum terlalu terik, tapi semangat sudah meluap dari halaman tempat digelarnya Tabligh Akbar Nasional.
Wajah-wajah bersih dengan senyum ringan memenuhi lokasi. Suasana penuh ketenangan dan harapan. Ramadan memang telah berlalu, tapi gaungnya masih hidup dalam denyut masyarakat.
Wahdah Islamiyah menutup rangkaian kegiatan Ramadan 1446 Hijriah dengan satu pesan besar: keberkahan bisa diupayakan—asal nilai-nilai agama hidup dalam praktik, bukan hanya dalam doa.

Mengusung tema lokal “Resopa Temmangingngi,” sebuah falsafah Bugis yang bermakna kerja keras penuh keikhlasan, acara ini tak sekadar ajang kumpul-kumpul.
Ia adalah ritual sosial yang mengikat simpul antara agama, masyarakat, dan negara.
Yang hadir bukan hanya warga biasa. Ada Bupati Sidrap H. Syaharuddin Alrif. Ada Wakil Ketua DPD RI, H. Tamsil Linrung.
Dan yang paling ditunggu: Ustaz Dr. KH. Muh. Zaitun Rasmin, tokoh nasional sekaligus Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah.
Tapi yang menarik bukan hanya sambutan atau tausiah. Yang mencuri perhatian justru hal-hal kecil—yang jika dirangkai, membentuk mozaik perubahan.
Misalnya, ketika Wahdah Inspirasi Zakat (WIZ) menyerahkan tiga rumah layak huni kepada warga.
Tak heboh, tapi penuh makna. Karena zakat di sini bukan hanya angka, tapi bentuk dari redistribusi sosial berbasis ajaran Islam.
Lalu, pohon mangga. Ya, pohon mangga yang diserahkan langsung kepada Bupati. “Ustaz Zaitun tahu saya suka tanam pohon, alhamdulillah dikasi pohon mangga,” kata Syaharuddin sambil tersenyum.
Tapi lagi-lagi, ini bukan sekadar hadiah simbolik. Ini adalah praktik ekologi spiritual—menghijaukan bumi sebagai bagian dari ibadah.
“Setiap desa kami suplai bibit berbeda-beda,” lanjutnya. Pendekatan ini dikenal sebagai pertanian diversifikasi komoditas, yang secara ilmiah terbukti meningkatkan ketahanan pangan lokal.
Namun, yang paling menyentuh adalah bagaimana agama dijadikan kerangka utama pembangunan.
Syaharuddin percaya bahwa semua keberhasilan yang diraih Sidrap—panen dua kali lipat, produksi telur miliaran butir per hari, hingga stabilnya harga peternakan—berakar dari doa para ulama dan santri.
Sebuah hipotesis spiritual yang di Sidrap, tampaknya sudah jadi teori yang teruji.
“Kalau agamanya baik, semua program akan ikut baik,” tegasnya.
Tabligh ini juga dirangkai dengan Sidrap Run, lomba lari yang bakal diikuti 5.000 peserta keesokan harinya.
Satu bentuk komplementer antara kebugaran jasmani dan ketahanan rohani. Dua sisi yang saling mendukung dalam membentuk masyarakat madani.
Wahdah Islamiyah tidak datang hanya dengan dakwah. Mereka datang dengan sistem nilai, program konkret, dan gerakan sosial.
Dari sekolah, pesantren, hingga rumah dan pohon. Dari zakat, ke silaturahmi, hingga transformasi.
Kini, harapan itu ditanam—secara harfiah dan metaforis. Dari pohon mangga, rumah sederhana, hingga mushaf di dada santri.
Sidrap perlahan menata wajah barunya. Bukan hanya sebagai lumbung pangan. Tapi juga lumbung penghafal Qur’an. Lumbung nilai.
Dan siapa sangka, itu semua bermula dari satu semangat lokal: Resopa Temmangingngi. (*)
Tinggalkan Balasan