Example 650x100

Oleh: Edy Basri
Penulis Kolom Pencerahan Hukum di Katasulsel.com


“Jika kata-kata adalah senjata, maka jurnalis adalah para kesatria yang bersenjatakan kejujuran. Tapi bagaimana bila pedang itu kini harus disarungkan demi menghormati singgasana?”

DI BALIK selimut tebal reformasi hukum pidana, ada narasi besar yang tampaknya luput dari perhatian khalayak luas: ancaman terhadap kebebasan pers.

KUHP baru, yang diklaim lebih modern dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, menyisipkan pasal-pasal yang bisa jadi “bom waktu” bagi para jurnalis.

Mari kita lihat lebih dekat.

Example 970x970

Pasal 218, 219, dan 220 KUHP Baru menyasar pada penyerangan terhadap kehormatan atau martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam bahasa hukum, ini menyentuh ranah delik aduan dan delik penghinaan, tapi dengan tafsir yang longgar, karya jurnalistik investigatif bisa dengan mudah dianggap sebagai “serangan pribadi”.

Padahal, dalam tradisi demokrasi modern, pemimpin negara adalah subjek publik yang sah untuk dikritisi.

Dalam doktrin public interest, kritik terhadap pejabat publik adalah bentuk kontrol sosial yang sah, bahkan nobile officium dari pers itu sendiri.

Pasal 240 dan 241 mempertegas posisi negara sebagai entitas yang tak bisa disentuh kritik keras. Di sinilah letak masalah.

Lex certa (asas kepastian hukum) tampak kabur karena kata “penghinaan” bersifat subjektif. Siapa yang menilai?

Atas standar apa? Jika kritik terhadap kebijakan publik dikriminalisasi, maka pasal ini menjadi alat represi yang sah secara hukum, namun timpang secara moral.

Yang lebih mencemaskan adalah Pasal 263 dan 264. Kedua pasal ini berbicara tentang berita bohong dan tidak pasti. Namun, dalam praktik jurnalistik, tidak semua data hadir dalam format sempurna.

Investigasi butuh waktu, dan dalam proses itulah publik diberi transparansi progres.

Bila segala ketidaksempurnaan dilabeli “penyiaran yang tidak lengkap” dan dikenai pidana, maka wartawan akan lebih banyak menulis “aman” daripada “benar”.

Di sinilah lahir apa yang disebut chilling effect, yakni efek jera yang membungkam kreativitas dan keberanian pers.

Dewan Pers telah memberi catatan kritis. Namun negara, dalam hal ini pembentuk undang-undang, tetap pada posisinya.

Mereka menyebut ini sebagai “perlindungan harkat pejabat”, padahal sesungguhnya ini adalah bentuk lex talionis versi modern—membalas kritik dengan hukuman.

Ironis, sebab press freedom bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang dari era Orde Baru yang represif.

Pasal-pasal ini mengingatkan kita pada praktik penal populism, di mana hukum dijadikan alat populis yang mengesankan ketegasan negara, namun justru membungkam suara rakyat.

Sebagai insan pers, kita tidak anti hukum. Tapi hukum yang adil seharusnya tak menjadi alat pembungkam. Hukum yang hidup adalah hukum yang berkeadilan (rechtvaardigheid), bukan semata-mata wetmatigheid (legalistik).

Kebebasan pers bukan berarti kebebasan tanpa batas. Namun membatasi pers lewat pasal karet, sama artinya dengan memutus nadi demokrasi.

Lanjut baca…