Bams pernah menulis lagu yang tak pernah dirilis, terinspirasi oleh sosok Hotma. Lagu itu bercerita tentang rumah, tentang figur ayah yang pendiam tapi hadir, tentang cahaya lampu kerja yang menyala di malam hari.
Kini, lagu itu kembali terngiang—tapi hanya dalam kepala. Sebab panggung sudah tiada.
Bagi rekan-rekannya di dunia hukum, Hotma adalah pribadi penuh prinsip. Ia tak segan menolak kasus bernilai miliaran jika bertentangan dengan nurani.
Ia juga kerap menjadi lawan debat yang keras, namun adil dan elegan. Banyak yang mengaku, bertemu Hotma di ruang sidang adalah pengalaman yang menguji kapasitas dan moral.
“Kami sering berbeda pendapat. Tapi satu hal yang pasti, dia selalu tulus dalam berjuang,” ujar salah satu pengacara senior, di Makassar, Rabu, 16 April 2025.
Sejak pagi, rumah besarnya yang bercat putih itu ramai. Orang-orang datang. Beberapa petugas sibuk mengatur tamu. Tapi di antara keramaian itu, beberapa tetangga hanya berdiri di balik pagar. Mereka tidak berani masuk, tapi wajah mereka penuh kehilangan.
Pak Anton, 61 tahun, yang sudah puluhan tahun tinggal tak jauh dari kediaman Hotma, menyebut almarhum sebagai sosok bersahaja. “Kalau lewat, selalu senyum. Kadang cuma angguk. Tapi kami merasa dihargai,” katanya.
Seorang ibu rumah tangga, tetangga lainnya, mengenang saat keluarganya sakit dan mendapat bantuan tak terduga dari keluarga Hotma. “Katanya titipan dari Ayah. Saya nangis waktu itu,” ujarnya.
Warga sekitar rumah duka merasakan kehilangan yang dalam. Bukan karena mereka kenal sosok hukum besar itu lewat media, tapi karena mereka pernah disentuh oleh kebaikan kecil yang tak pernah diumbar.
Hari itu, langit Jakarta tampak muram. Jenazah Hotma disambut isak pelayat, dari yang berjas rapi hingga mereka yang hanya datang membawa doa. Semua hadir karena satu alasan: ia pernah berarti.
Dan seperti kata Bams dalam hati, mungkin dunia kehilangan satu pengacara, tapi banyak hati kehilangan cahaya.(*)