Benarkah Blackout Bali Dipicu Gangguan Kabel Laut? Analisis Teknikal Justru Mengarah ke PLTG Pesanggrahan
Jakarta, katasulsel.com β Gangguan sistem kelistrikan yang menyebabkan blackout total (total loss of power supply) di wilayah Bali selama lebih dari lima jam pada Jumat (2/5/2025), kini tengah menjadi sorotan tajam berbagai kalangan. Informasi resmi dari PLN yang menyebut gangguan transmisi bawah laut sebagai penyebab utama, mulai dipertanyakan validitasnya.
Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO), Teuku Yudhistira, mengungkapkan bahwa berdasarkan telaah dari sejumlah narasumber teknis, kejadian loss of load probability (LOLP) tersebut kemungkinan besar bermula dari trip-nya unit PLTG Pesanggaran 5 dan 6. Ia menegaskan bahwa sistem transmisi justru terdampak sebagai efek domino dari kegagalan pada sistem pembangkitan.
“Ketika PLTG Pesanggaran mengalami gangguan, terjadi lonjakan transfer daya secara mendadak dari 290 MW menjadi 470 MW. Lonjakan ini menyebabkan overload dan mengaktifkan protection relay system di jaringan HVDC interconnection kabel laut Jawa-Bali, sehingga keempat saluran transmisi (1, 2, 3, dan 4) mengalami simultaneous trip-off,” ungkap Yudhistira, Rabu (7/5).
Dijelaskannya, kondisi sistem saat itu berada dalam state of full loading, di mana seluruh pembangkit lokal di Bali tengah beroperasi pada titik beban maksimum (peak load). Ketika unit utama mengalami trip, sistem kehilangan cadangan daya instan (spinning reserve deficiency) dan tidak ada load shedding mechanism yang cukup cepat untuk merespons, hingga akhirnya frequency instability memicu pemutusan total jaringan kabel laut melalui under-frequency protection scheme.
Yudhistira juga mengkritisi keputusan masa lalu untuk merelokasi unit pembangkit dari Tambak Lorok ke Pesanggaran dalam rangka persiapan G20. Ia menyebut, keputusan tersebut harus dievaluasi kembali, mengingat unit baru justru menimbulkan kerentanan sistem.
“Secara engineering, kami mempertanyakan apakah commissioning test dan reliability assessment terhadap unit-unit tersebut dilakukan secara menyeluruh? Karena berdasarkan informasi yang kami peroleh, infrastruktur itu belum dua tahun beroperasi namun sudah berkontribusi pada sistem collapse,” ujarnya.
Yudhistira menambahkan, blackout ini juga mengindikasikan lemahnya grid contingency planning dan coordination failure antara pusat pembangkitan dan sistem transmisi. Bahkan defense scheme yang dirancang untuk mencegah keruntuhan sistem (system collapse) tidak cukup untuk menahan beban lonjakan daya.
Merujuk pada berbagai data tersebut, ia menyarankan agar dilakukan investigasi independen oleh lembaga teknis dan hukum yang berwenang, seperti Kejaksaan Agung atau lembaga pengawasan sektor energi, guna memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sistem tenaga nasional.
βYang publik butuhkan bukan sekadar pernyataan heroik soal pemulihan, tapi juga kejujuran atas sebab-akibat sistemik. Kita bicara soal critical infrastructure yang tidak boleh dikelola dengan pendekatan retorika,β tegasnya. (edy/wahyu-Jakarta)