Aduh, Wanita di Parepare Merekayasa Begal Demi Cicilan Motor
Parepare, katasulsel.com – Pada awalnya, kisah ini tampak seperti tragedi jalanan yang biasa kita dengar: seorang wanita mengaku dibegal, uangnya raib, ada juga luka di tangan. Rita, 42 tahun, warga Parepare, melaporkan dirinya menjadi korban pencurian dengan kekerasan pada Jumat, 2 Mei 2025. Lokasinya jelas disebut: Jalan Bambu Runcing, pukul 11.30 WITA.
Laporan itu dengan cepat menyebar. Di media sosial, narasi penderitaan Rita jadi bahan perbincangan. Foto tangannya yang luka dibumbui cerita soal pisau yang katanya sudah menyentuh lehernya. Simpati pun mengalir, bahkan sebagian netizen meminta aparat mengusut tuntas pelaku.
Namun, sebagaimana pepatah lama: tak semua yang tampak itu nyata.
Penyelidikan polisi membuka lembaran baru yang mencengangkan. Tim dari Polres Parepare, di bawah komando AKBP Arman Muis, merasa ada yang tak klop dari kesaksian Rita. Lokasi kejadian yang katanya ramai, tak ada saksi. Kamera pengawas di sekitar tempat kejadian menunjukkan nihil aktivitas mencurigakan.
“Setelah kita lakukan interogasi, Rita akhirnya mengaku bahwa dirinya tidak pernah menjadi korban begal. Semua hanya rekayasa,” ujar Kapolres AKBP Arman Muis, dengan nada tegas namun tenang.
Motifnya sederhana, tapi menyayat nurani: Rita terdesak membayar cicilan sepeda motor ke perusahaan pembiayaan sebesar Rp1,3 juta per bulan. Uang yang sejatinya dia siapkan—Rp1,5 juta—terjatuh bersama dompetnya di jalan. Dalam keputusasaan, ia berharap empati keluarga bisa menambal beban keuangan yang tertunda. Maka, cerita begal pun diciptakan.
Luka yang semula menjadi penguat drama ternyata berasal dari pertikaian pribadi. Rita mengaku sempat berselisih dengan temannya di kawasan Jembatan Lemoe. Dalam keributan itu, ia terjatuh dan lengannya menghantam besi—bukan karena diserang begal seperti yang ia ceritakan sebelumnya.
Tak hanya menyedihkan, pengakuan ini juga menampar kepercayaan publik terhadap sistem pelaporan kriminal.

Kasus Rita membuka ruang refleksi. Dalam masyarakat yang terus dihimpit kebutuhan, tekanan ekonomi sering mendorong orang untuk mencari jalan pintas—bahkan dengan cara yang bertentangan dengan hukum dan etika. Meski perbuatannya keliru, kisah Rita mencerminkan kenyataan pahit tentang bagaimana kebutuhan hidup bisa menggerus akal sehat.
Kini, Rita bukan lagi korban. Ia bisa menghadapi jerat hukum karena laporan palsunya. Namun lebih dari itu, ia adalah potret nyata dari seseorang yang tersandung bukan karena kebusukan hati, melainkan oleh ketidakberdayaan menghadapi tagihan.
Kapolres Parepare mengingatkan masyarakat agar tidak terburu-buru percaya pada informasi yang beredar di media sosial tanpa verifikasi.
“Setiap laporan akan kami tindaklanjuti secara profesional. Tapi membuat laporan palsu justru merugikan semua pihak, termasuk diri sendiri,” tegas AKBP Arman.
Kini, cerita viral itu menemukan titik terang. Bukan kisah korban, tapi ironi tentang cicilan, rekayasa, dan pencarian simpati yang keliru arah. (ed/at)