Dulu Tidur Tak Nyaman, Kini Ibu Suharni di Enrekang Bisa Tersenyum di Rumah Barunya
Oleh: Muh Basir – Enrekang
Di ujung Dusun Bampu, Desa Karueng, Kabupaten Enrekang, berdiri sebuah rumah baru yang tak mencolok namun sarat makna.
Di sanalah Suharni (51), seorang ibu tunggal dengan dua anak, menjemput harapan baru yang dulu sempat redup—di balik tembok reyot dan atap bocor peninggalan orang tuanya.
Suharni adalah potret ketegaran dalam sunyi. Bertahun-tahun ia tinggal di rumah kayu yang setiap musim hujan membuatnya gelisah.
Kayu penyangga utama sudah lapuk, dinding bolong diterpa angin malam, dan lantai yang keropos mengintai bahaya setiap saat. Ia tidak punya pilihan selain bertahan.
Ekonomi terbatas dan beban hidup sebagai kepala keluarga membuatnya harus mendahulukan kebutuhan dapur ketimbang membenahi atap rumah.
Namun hidup, kadang menyelipkan mukjizat lewat tangan-tangan yang peduli.
Pada akhir 2023, mantan Kepala Desa Karueng, Usmayadi, memulai pemetaan warga miskin ekstrem di wilayahnya. Nama Suharni muncul dalam daftar prioritas.
Usulan itu dibawa ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Enrekang yang saat itu sedang mengembangkan program Bedah Rumah Berbasis Komunitas—sebuah pendekatan filantropi yang tidak hanya membangun rumah, tapi juga menumbuhkan kembali solidaritas warga.
Dr. Ilham Kadir, Ketua Baznas Enrekang sekaligus akademisi Universitas Muhammadiyah Enrekang (UNIMEN), memimpin langsung proses verifikasi dan eksekusi bantuan.
“Ini bukan soal membangun dinding dan atap, tapi tentang memulihkan rasa aman dan harga diri,” ujar Ilham saat menyerahkan bantuan secara simbolis.
“Zakat harus kembali pada akarnya—menjadi instrumen keadilan sosial dan pengungkit kemandirian,” tambahnya.
Baznas menyalurkan Rp15 juta untuk pembangunan rumah baru Suharni. Bukan angka besar jika dibandingkan harga material bangunan, tapi cukup untuk memantik partisipasi kolektif warga.
Dana itu disebut partisipatif seed fund, yang disambut hangat oleh masyarakat Dusun Bampu.
Kepala Dusun Ardiansyah menjadwalkan gotong royong. Tukang-tukang lokal bersedia bekerja dengan ongkos minimal, para tetangga menyumbang tenaga, sementara warga lain membawa bahan bangunan seadanya.
“Ini bukan hanya tentang bangunan, tapi soal rasa memiliki,” ungkap Usmayadi.
Kini, di atas pondasi baru dan tembok kokoh, Suharni dan anak-anaknya kembali bisa tidur dengan tenang. Tak lagi khawatir saat angin berembus kencang atau hujan turun deras.
Tak ada lagi tikar lembab atau tetesan air dari langit-langit yang membuat malam-malam mereka gelisah.
“Terima kasih banyak. Saya tidak tahu harus membalas dengan apa, selain mendoakan semua yang sudah membantu,” kata Suharni, matanya berkaca-kaca.
Di wajahnya terpancar ketenangan, sesuatu yang lama hilang dari hidupnya.
Program semacam ini, menurut Ilham Kadir, adalah model intervensi berbasis zakat yang menjawab langsung kebutuhan riil masyarakat.
Ini sejalan dengan SDGs poin ke-11: Sustainable Cities and Communities—mewujudkan hunian layak, aman, dan terjangkau bagi semua kalangan, termasuk mereka yang hidup dalam kemiskinan struktural.
Lebih dari itu, program ini juga menjadi pelajaran tentang bagaimana zakat, negara, dan masyarakat bisa bersinergi membangun kehidupan yang lebih adil.
Bukan dengan slogan besar, tapi lewat tindakan konkret di titik-titik sunyi, seperti di rumah kecil Ibu Suharni.
Dulu, ia tidur dalam cemas. Kini, di rumah barunya yang sederhana namun kokoh, Suharni bisa tersenyum, dan anak-anaknya bisa tumbuh dalam naungan yang lebih layak.
Sebuah bukti, bahwa zakat yang ditunaikan tepat sasaran, bukan hanya meringankan beban—tapi menyalakan kembali harapan.(edybasri)