Kejati Sulsel Jadi Contoh Nasional, Warga Tak Perlu Takut Hukum, Ada Jalan Damai
Laporan: Edy Basri– Makassar
Makassar, Katasulsel.com — Di tengah banyaknya keluhan soal hukum yang rumit dan menakutkan, sebuah kabar baik datang dari Sulawesi Selatan. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel kini jadi panutan nasional dalam menjalankan pendekatan hukum yang lebih manusiawi: Restorative Justice atau keadilan yang mengedepankan perdamaian.
Kamis, 8 Mei 2025, Direktur Tindak Pidana terhadap Orang dan Harta Benda Jampidum Kejaksaan Agung RI, Nanang Ibrahim Soleh, datang langsung ke Makassar. Ia memuji langkah Kejati Sulsel yang dianggap berhasil menjalankan program Restorative Justice (RJ) Mandiri dengan konsisten dan berdampak.
“Hukum itu bukan cuma soal menghukum, tapi bagaimana kita bisa memulihkan hubungan, memberi kesempatan kedua, dan menyelesaikan masalah tanpa menyakiti lebih dalam,” ujar Nanang di hadapan para jaksa dan pejabat Kejati Sulsel.
Dari Sulsel untuk Indonesia
Restorative Justice bukan hal baru, tapi belum semua daerah berani menjalankan secara mandiri. Sulsel justru melangkah lebih maju. Wakil Kepala Kejati Sulsel, Teuku Rahman, menyebut bahwa Sulsel kini ditunjuk sebagai pilot project nasional untuk program RJ.
Bukan tanpa alasan. Sepanjang tahun 2024, ada 138 kasus yang diselesaikan lewat jalan damai. Dari Januari hingga Mei 2025, sudah 67 perkara berhasil diselesaikan lewat musyawarah, hanya satu yang ditolak. Angka ini menunjukkan bahwa pendekatan damai bukan utopia—ia bisa jadi realita.
“Kami tidak hanya menyelesaikan kasus. Kami juga mengembalikan kedamaian, memulihkan luka, dan menghindari luka baru,” kata Teuku Rahman.
Hukum yang Lebih Membumi
RJ bukan berarti pelaku dibiarkan bebas tanpa konsekuensi. Tapi pada kasus-kasus ringan dan bisa didamaikan—seperti perkelahian kecil, pencurian karena terpaksa, atau konflik antarwarga—RJ menjadi solusi yang lebih bijak.
Korban dan pelaku dipertemukan, dibimbing oleh jaksa, tokoh masyarakat, bahkan pemuka agama, untuk berdamai. Pelaku mengakui kesalahan, korban memberi maaf, dan keduanya mendapat bimbingan agar kejadian tak terulang.
Nanang menekankan bahwa pendekatan ini perlu didukung dengan pemahaman mendalam, bukan sekadar formalitas. Maka itu, pelatihan dan pembinaan bagi para jaksa akan terus ditingkatkan.
“Kalau hanya jadi seremonial, RJ kehilangan maknanya. Ini harus jadi budaya baru dalam sistem hukum kita,” ujarnya.