Jurnal

Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi, Upaya Mewujudkan Kehidupan Bermasyarakat yang Harmonis

Astridqanita Mahasiswi Ilmu Hukum, Institut Cokroaminoto Pinrang (ICP)

Penulis: Astridqanita
Mahasiswi Ilmu Hukum, Institut Cokroaminoto Pinrang (ICP)
(Artikel ini ditulis sebagai bagian dari tugas akademik)

Abstrak
Sengketa antar tetangga, khususnya yang disebabkan oleh kebisingan, kerap menjadi persoalan yang mengganggu keharmonisan masyarakat. Salah satu metode penyelesaian yang efektif dan humanis adalah melalui mediasi.

Mediasi memberikan ruang dialog terbuka yang difasilitasi oleh pihak netral agar kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan secara sukarela.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana mediasi dapat digunakan sebagai sarana penyelesaian sengketa kebisingan antar warga serta menyoroti kelebihan pendekatan ini dibandingkan jalur litigasi formal.

Kata Kunci: Mediasi, Kebisingan, Konflik Tetangga, Penyelesaian Sengketa, Hukum Perdata

Pendahuluan
Hubungan antar tetangga merupakan bagian penting dari tatanan sosial masyarakat. Namun, tidak jarang hubungan ini terganggu akibat konflik yang muncul dari persoalan sepele seperti kebisingan, batas tanah, hingga limbah rumah tangga.

Apabila tidak dikelola dengan baik, konflik ini dapat membesar dan menimbulkan keresahan sosial. Dalam konteks ini, mediasi menjadi sarana penyelesaian sengketa yang efektif karena menekankan dialog dan musyawarah sebagai prinsip utama dalam pemecahan masalah^1.

Dasar Hukum Mediasi
Mediasi diakui secara yuridis dalam sistem hukum Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan^2. Lebih lanjut.

Lalu, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mewajibkan mediasi sebagai bagian dari proses persidangan perkara perdata sebelum memasuki pokok perkara^3.

Meskipun PERMA berlaku dalam konteks pengadilan, asas dan prinsip mediasi dapat pula diterapkan dalam konteks masyarakat, termasuk sengketa antar tetangga.

Proses Mediasi dalam Sengketa Kebisingan
Secara umum, proses mediasi diawali dengan kesepakatan kedua pihak untuk menyelesaikan masalah secara damai.

Seorang mediator netral—dalam kasus lingkungan bisa dari perangkat RT, RW, atau tokoh masyarakat—memfasilitasi pertemuan yang bersifat informal dan partisipatif.

Langkah-langkah yang biasa ditempuh meliputi:

  1. Persiapan dan kesepakatan para pihak untuk melakukan mediasi;
  2. Penyampaian pendapat dan keluhan dari masing-masing pihak;
  3. Dialog terbuka untuk mencari titik temu;
  4. Perumusan solusi secara bersama;
  5. Penandatanganan pernyataan kesepakatan.

Contoh Kasus: Kebisingan Akibat Aktivitas Hiburan
Salah satu ilustrasi konkret, misalnya ; kasus antara Budi dan Andi (hanya nama samaran), dua warga yang tinggal di lingkungan padat penduduk.

Budi merasa terganggu oleh kebiasaan Andi yang rutin mengadakan pesta musik dengan volume tinggi setiap akhir pekan.

Setelah teguran lisan tidak membuahkan hasil, kedua belah pihak sepakat menempuh jalur mediasi melalui perangkat RT setempat.

Dalam sesi mediasi, Andi menyadari bahwa perilakunya mengganggu ketertiban umum, dan akhirnya bersedia membatasi waktu hiburan serta mengurangi tingkat kebisingan.

Hasil kesepakatan kemudian dituangkan dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani kedua belah pihak.

Kelebihan Mediasi dalam Sengketa Sosial
Mediasi memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan penyelesaian formal di pengadilan:

  • Prosedur cepat dan biaya rendah;
  • Menjaga kerahasiaan dan reputasi para pihak;
  • Menumbuhkan komunikasi dan toleransi sosial;
  • Solusi bersifat partisipatif dan mengikat secara moral;
  • Memperkuat pranata sosial di tingkat komunitas.

Penutup
Mediasi terbukti menjadi solusi efektif dalam menangani konflik antar tetangga, termasuk sengketa kebisingan.

Melalui pendekatan dialogis dan restoratif, mediasi tidak hanya menyelesaikan sengketa tetapi juga memperkuat hubungan sosial dan menciptakan lingkungan yang lebih damai.

Pemerintah dan lembaga pendidikan hukum perlu mendorong pemasyarakatan mediasi sebagai budaya hukum dalam masyarakat.

Daftar Pustaka:

  1. Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
  3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
  4. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
  5. Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Catatan Kaki:

^1 Lihat Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, hlm. 145.
^2 Lihat Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
^3 Lihat Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version