Lupa Mandi Kejar Rp12 Triliun, Syahar: Demi Sidrap Tercinta
Tangannya menunjuk langit-langit aula. Suaranya meninggi. Lalu turun perlahan, seperti air di saluran irigasi—mengalir. Sorot matanya tajam. Ia bicara soal mimpi besar: Rp12 triliun dalam setahun.
Oleh : Harianto
Nama mimpi itu: Sidrap. Panggungnya di Aula Rektorat UMS Rappang, Senin, 12 Mei 2025.
Penontonnya: ratusan kader Pemuda Muhammadiyah. Dan, pemain utamanya, tentu; Syaharuddin Alrif, Bupati Sidrap.
“Saya kerja siang malam. Sampai lupa mandi. Demi daerah ini,” katanya, disambut tawa dan tepuk tangan. Kalimat itu sederhana. Tapi maknanya dalam. Ada idealisme yang tak sedang main-main.
Revolusi Produktivitas
Target Syahar bukan basa-basi. Ia bicara angka. Bicara logistik. Bicara produktivitas dalam skala makro.
Rp12 triliun itu bukan mimpi kosong. Di belakangnya ada peta strategi. Ada ekosistem agraria dan peternakan yang mulai dihidupkan kembali. Istilah ekonominya: ekspansi kapasitas produksi sektor primer.
Gabah, misalnya. Sidrap dipatok menyumbang 1 juta ton per tahun. Kalkulasi sederhananya; 1 juta ton x Rp6.800 = Rp6,8 triliun. Itu baru dari sawah.
Belum lagi dari sapi, kambing, ayam. Target peternakan: 5 juta ekor. Kontribusinya ditargetkan Rp4 triliun.
Dari jagung dan komoditas kebun lainnya, Rp1 triliun disiapkan. Jika semua bergerak dalam sistem agroekonomi yang solid, maka: Gabah + Ternak + Jagung = Rp12 triliun.
Istilahnya: transformasi struktural ekonomi daerah berbasis potensi lokal.
SAR-Kanaah dan Perlawanan Terhadap Mental Honorer
Syahar juga menyampaikan program unggulannya: SAR-Kanaah—akronim yang merangkum pendekatan spiritual, agrikultural, dan kemandirian ekonomi umat.
Kepada kader Pemuda Muhammadiyah, Syahar berpesan tegas: “Jangan datang ke saya hanya untuk minta jadi honorer.”
Baginya, menjadi pemuda Muhammadiyah berarti menolak hidup pasif. Harus produktif. Harus kreatif. Harus jadi bagian dari sistem, bukan penonton di pinggir lapangan. Ia ingin kader-kader muda berani berdiri di atas kaki sendiri. Self-propelled growth, kata para ekonom.
Kerja, Bukan Gaya
Di luar aula, suhu udara 32 derajat Celsius.
Tapi Syahar tetap berdiri. Dengan kaus putih basah oleh keringat terbalut jas almamater.
Ia bicara mimpi. Tapi juga bicara logistik. Bicara pupuk. Bicara pakan. Bicara distribusi.
Ia tidak sedang menjual ilusi. Ia sedang membangun sistem. Sistem yang butuh keringat. Bahkan sampai lupa mandi. (*)