Sidrap, Surga Tersembunyi di Jantung Sulawesi, Harmoni Geowisata dan Warisan Budaya
Sidrap, Katasulsel.com — Di antara jejeran kabupaten di Sulawesi Selatan, Sidenreng Rappang (Sidrap) kian menegaskan eksistensinya sebagai destinasi wisata yang tak hanya memesona secara visual, tetapi juga kaya akan nilai geokultural dan ekologis. Kabupaten yang dikenal sebagai lumbung energi angin ini, ternyata menyimpan potensi geowisata yang belum sepenuhnya tersentuh oleh lensa mainstream pariwisata.
Salah satu titik atraktif yang menonjol adalah Taman Wisata Puncak Bila di Desa Bila Riase, Kecamatan Pitu Riase. Tak sekadar taman rekreasi, kawasan ini merupakan perpaduan harmonis antara lanskap topografi dataran tinggi dan wahana buatan manusia. Fenomena orografis—yakni naiknya massa udara lembap ke atas pegunungan—menghasilkan kabut tipis dan iklim mikro yang membuat kawasan ini sejuk dan menenangkan.
Tak jauh dari ranah rekreasi, Kincir Angin Raksasa di Mattirotasi menjadi ikon energi baru terbarukan (EBT) nasional. Dengan puluhan menara turbin setinggi hingga 80 meter, kawasan ini tidak hanya menarik bagi wisatawan, tetapi juga menjadi etalase transisi energi berbasis angin. Fenomena ini mengubah lanskap Wattang Pulu menjadi ekosistem teknologi hijau, tempat para pelajar dan peneliti energi mempelajari aerodinamika turbin dalam konteks tropis.
Untuk pecinta fotografi lanskap, Puncak Malloci di Desa Buae menghadirkan simfoni warna alam yang luar biasa. Posisinya yang strategis menjadikan tempat ini ideal untuk mengamati fenomena golden hour—baik saat fajar maupun senja—dengan latar belakang perbukitan hijau yang bergelombang.
Di sisi lain, Sidrap juga menawarkan ketenangan eksistensial melalui Danau Sidenreng, sebuah danau alami yang berperan sebagai penyangga ekosistem air tawar dan sekaligus sebagai oase bagi aktivitas sosial ekonomi masyarakat sekitar. Danau ini menjadi ruang kolektif antara nelayan, wisatawan, dan pelestari lingkungan yang ingin menyatu dalam keheningan reflektif.
Sementara itu, Taman Bulgeria Art Bonsai memperlihatkan keunikan estetika dan sains botani. Dengan lebih dari 120 spesies bonsai, tempat ini mencerminkan pemahaman mendalam terhadap morfologi tanaman dan praktik horticulture presisi. Ini bukan sekadar taman, melainkan museum hidup yang merekam evolusi tanaman dalam bentuk miniatur.
Wisata air seperti Air Terjun Salu Maridi menjadi ruang alami dengan ekosistem riparian yang masih terjaga. Suara gemuruh air yang jatuh di antara batuan endapan dan vegetasi liar menciptakan nuansa terapeutik yang diakui dalam ekowisata.
Tak ketinggalan, Rumah Adat Datae menjadi monumen budaya yang mengabadikan 11 jenis arsitektur tradisional Sidrap. Setiap rumah mencerminkan struktur sosial, nilai spiritual, dan adaptasi ekologis masyarakat lokal yang diwariskan lintas generasi. Ini bukan sekadar bentuk bangunan, tetapi kode budaya yang mengandung narasi identitas.
Dan tentu, Taman Usman Isa hadir sebagai simpul interaksi sosial urban, tempat warga mereguk udara segar sekaligus menyerap denyut komunitas yang tumbuh di tengah modernitas.
Dengan lanskap yang variatif dan kekayaan budaya yang utuh, Sidrap tengah membentuk narasi baru sebagai pusat wisata berbasis ilmu dan warisan. Sebuah destinasi yang tak hanya memanjakan mata, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya menjaga keberlanjutan alam dan tradisi.(*)
Editor: Edy Basri / Reporter: Tipoe Sultan